Jakarta (Greeners) – Limbah infeksius yang dihasilkan oleh para pasien Covid-19 membutuhkan tambahan fasilitas pengolah limbah secara khusus. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, timbulan sampah dari fasilitas pelayanan kesehatan mencapai 294,66 ton per hari. Sedangkan kapasitas fasilitas pengolahan oleh rumah sakit berizin hanya 53,12 ton per hari dan 187,90 ton per hari untuk perusahaan pengolah limbah B3 dan limbah medis.
Medrilzam Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengatakan kebijakan pengelolaan Bahan Berbahaya Beracun (B3) telah menjadi agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Salah satunya dengan membangun fasilitas pengolahan limbah B3 medis dan limbah B3 terpadu.
Baca juga: Kemenkes: Satu Pasien Covid-19 Hasilkan Limbah Medis Hingga 14,3 Kilogram per Hari
“Target fasilitas pengolah limbah B3 medis di 32 provinsi dan pengolah limbah B3 terpadu di Sumatera, Sulawesi, Jawa Timur, dan Kalimantan dengan indikasi biaya Rp4,6 triliun,” ujar Medrilzam pada Diskusi Daring Pengolahan Limbah B3 Medis Covid-19 di Indonesia, Selasa, (29/04/2020).
Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memiliki satu proyek percontohan yakni insenerator pengolah limbah medis B3 berkapasitas 2,4 ton per hari di Provinsi Sumatera Selatan, Makassar. “Kami coba tahun ini membangun lima (insenerator), di Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat,” ucap Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 KLHK, Sinta Saptarina Soemiarno.
Target pembangunan pengolahan limbah medis B3 berskala insenerator ini akan dibangun setiap tahun. Pada 2021 target yang dibangun sebanyak enam unit dan di tahun selanjutnya hingga 2024 target masing-masing terbangun tujuh unit.
Untuk memenuhi target tersebut, KLHK meminta pemerintah daerah menyediakan lahan yang sesuai tata ruang, melengkapi dokumen lingkungan, dan memiliki komitmen operasional berkelanjutan dengan pengelolaan yang baik dan benar, serta kelembagaan unit pengelola fasilitas pengolah limbah B3 fasyankes.
Rumah Sakit Rujukan di Daerah Terkendala Fasilitas Pengolahan
Sejumlah rumah sakit rujukan Covid-19 mengeluh tidak memiliki pengolahan limbah medis B3. Rumah sakit kesulitan mendapatkan jasa pengolahan terutama yang berada di luar Pulau Jawa. Lia Gardenia Partakusuma Sekretaris Jenderal Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) mengatakan saat ini rumah sakit rujukan Covid-19 bertambah menjadi 506 lokasi. Dari banyaknya rumah sakit rujukan tersebut banyak di antaranya yang tidak memiliki pengolahan limbah medis B3 on-site. Penyebabnya mulai dari tidak adanya izin, lahan yang tidak memenuhi, maupun legitimasi izin yang belum keluar.
Baca juga: Capaian Reklamasi Tambang Tak Memenuhi Target
“Seharusnya RS segera memusnahkan limbah medis, tapi kami tidak mengetahui teknologi terkini yang aman. Banyak RS ditawari oleh pihak ketiga yang menyatakan teknologi aman, begitu mengajukan izin terhambat karena tidak memenuhi persyaratan,” ujarnya.
Menurut Guru Besar Bidang Pengelolaan Udara dan Limbah, Institut Teknologi Bandung, Profesor Enri Damanhuri, hanya teknologi berbasis insenerator yang diizinkan berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 56 Tahun 2015 Pasal 17 Ayat 3. Ia menuturkan, di Amerika, penggunaan insenerator untuk mengolah limbah medis B3 hanya 15 persen. Sisanya beralih ke autoclave.
“Sebenarnya tidak harus limbah medis dibakar pada suhu minimal 800 derajat celcius. Karena sasaran pengolahan limbah medis ini membunuh mikroorganisme patogen. Jadi 100 derajat sudah cukup dan suhu tersebut sebenarnya bisa menggunakan teknologi seperti autoclave dan microwave,” ujar Enri.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani