Kemunculan Penyakit Zoonosis Akibat Ketidakseimbangan Lingkungan

Reading time: 3 menit
Kerusakan Hutan
Perusakan habitat atau alam liar memungkinkan kontak antara manusia dengan hewan semakin dekat. Foto: shutterstock.com

Jakarta (Greeners) – Zoonosis menjadi ancaman bagi biodiversitas karena adanya pengaruh dari perilaku manusia. Perusakan habitat atau perburuan adalah contoh yang memungkinkan kontak antara manusia dengan hewan semakin dekat. Ketidakseimbangan lingkungan, hilangnya peran atau fungsi dari satwa liar juga berdampak buruk bagi kehidupan manusia, hewan, dan alam.

“Lingkungan dan perilaku manusia menjadi faktor yang sangat penting. Faktor lingkungan berperan sebelum muncul penyakit, pada saat munculnya penyakit, dan pada saat penyakit itu menyebar,” ujar Drh. Tri Satya Putri Naipospos, Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veternier, dan Karantina Hewan, Kementerian Pertanian kepada Greeners, Selasa, (31/03/2020).

Dokter yang akrab disapa Tata ini mengatakan penyakit zoonotik juga mengancam biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Ia menyebut patogen dari spesies tertentu melompat untuk berevolusi, berevolusi, dan berpindah ke inang barunya. Keadaan tersebut diperburuk dengan adanya perdagangan satwa liar dan perusakan habitat yang memicu krisis iklim.

“Penyakit zoonosis sangat luas, mulai dari hewan peliharaan seperti rabies, toxoplasmosis, di ternak brucellosis, dan dari satwa liar,” kata dia.

Ia menuturkan zoonosis atau penyakit yang berasal dari hewan tidak bisa lepas dari patogen, inang alami atau vektor, dan inang perantara. Satwa liar, kata dia, adalah reservoir patogen. Contohnya seperti kelelawar yang bisa membawa patogen tersebut dalam jarak bermil-mil tanpa sakit. Patogen dalam bentuk virus atau bakteri mendekam secara persisten di tubuh hewan yang hidup di alam. Sementara, alam liar adalah tempat yang memiliki biodiversitas tinggi.

“Contoh kelelawar, perannya banyak di alam, memakan populasi serangga atau nyamuk. Kalau populasi nyamuk merajalela karena tidak ada yang bisa menguranginya, maka timbul dampak baru atau bisa penyakit baru,” ujar Tata.

Baca juga: Peneliti: Manusia Berperan dalam Penyebaran Virus Patogen

Adapun pengelompokan jenis satwa lain yang memiliki banyak virus ialah mamalia. Kelompok tersebut juga diketahui sebagai spesies terbesar di antara kerajaan hewan. Kelelawar yang merupakan kelompok dari mamalia, memiliki virus terbanyak dan mendominasi 20 persen di seluruh spesies mamalia.

“Virus dalam tubuh satwa liar akan terus bermutasi, sehingga pada waktunya mampu menjadi virus baru juga. Karena memang virus ini berasal dari mereka (mamalia),” ujarnya.

Perubahan lingkungan, perilaku manusia, dan perpindahan penyakit yang berasal dari hewan (zoonosis) tidak terlepas antara satu sama lain. Gangguan terhadap habitat alami hutan seperti penebangan kayu, penambangan, urbanisasi yang kian cepat, dan pertumbuhan penduduk, diketahui membuat orang lebih dekat dengan spesies hewan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Menurut Tata, akibat kemunculan penyakit, maka manusia berniat untuk membunuh atau mengurangi populasi hewan liar dengan maksud mencegah atau mengurangi risiko penyakit. Namun, hal tersebut bukanlah solusi. Ia mengatakan satwa liar tidak harus disalahkan sebagai penular penyakit yang mengubah kehidupan manusia sehari-hari.

“Kerusakan habitat alam dibarengi dengan jumlah besar orang, telah memungkinkan penyakit yang sebelumnya terkunci di alam mampu melintas ke manusia secara cepat,” kata dia.

Ia menyarankan untuk menghentikan penyebaran zoonosis ini, bisa dilakukan dengan menutup dan melarang pasar hewan hidup yang menjual satwa liar secara ilegal, menghentikan konsumsi, memproteksi dengan tidak merusak habitat lainnya, dan menyetop perdagangan dan perburuan.

Pemetaan Lokasi Zoonosis Belum Dilakukan

Pada 2019 lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan akan membuat peta hotspot infeksi zoonosis di Indonesia untuk memudahkan pengawasan atas penyakit yang berasal dari hewan. Namun, hingga kini peta tersebut belum dilakukan.

Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi mengatakan rencana pemetaan hotspot infeksi zoonosis dilakukan tahun ini. Ia mengatakan ada tiga wilayah yang akan dipetakan, yakni Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Namun, kata dia, implementasinya tertunda akibat bencana pandemi Covid-19 yang lebih dahulu datang.

“Tidak dibatalkan, tapi mau ke lapangan tidak mungkin karena sedang pandemi Covid-19. Kita tunggu sampai pandemi ini berakhir baru dilanjut,” ujarnya.

Cahyo mengatakan, dampak penyakit yang berasal dari spesies memengaruhi ketahanan nasional.“Itulah kenapa kehati (keanekaragaman hayati), termasuk satwa liar, mikroba, dan mikroorganisme yang berpotensi menjadi penyakit perlu diperhatikan,” kata dia.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top