Pengamat: Jakarta Perlahan Sedang “Bunuh Diri” Ekologis

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: freepik.com

Jakarta (Greeners) – Jakarta sebagai Ibukota berpopulasi penduduk yang tinggi tengah berada dalam kondisi yang dikatakan sebagai “bunuh diri” ekologis. Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat dan Pakar Tata Kota Hijau dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga. Bunuh diri ekologis yang dimaksud oleh Joga adalah keadaan di mana begitu banyak permasalahan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk Jakarta yang terbilang tinggi.

Daya dukung lingkungan yang tidak sebanding dengan tingginya jumlah penduduk di Jakarta ini menurut Joga bisa dilihat dari beberapa faktor, seperti kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, kebutuhan akan air bersih, serta kebutuhan udara yang segar.

Tata kelola lahan yang tidak bagus dan banyaknya pembangunan yang masih menggunakan sistem tapak (horizontal), menurut Joga, mengakibatkan timbulnya pemborosan lahan yang memakan banyak ruang-ruang kosong di Jakarta.

Joga juga menyatakan belum melihat terobosan-terobosan dari Pemerintah Provinsi dalam mengoptimalkan sumber-sumber air yang ada. Menurutnya, waduk atau sungai bisa saja dijadikan tempat untuk memenuhi kebutuhan air baku di Jakarta.

“Apalagi kalau sudah masuk ke terobosan yang lebih modern seperti mengolah air laut menjadi air bersih, jelas hal tersebut lebih bermanfaat ketimbang membuat tanggul raksasa,” ujar Joga kepada Greeners, Jakarta, Rabu (14/10).

Ia juga tidak mempermasalahkan pernyataan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLH) Jakarta yang menyatakan bahwa bulan September 2015, kualitas udara di Jakarta masih tergolong sedang dan tidak berbahaya bagi manusia. Namun, Joga mengingatkan bahwa apa yang dirasakan oleh masyarakat perlu diperhatikan.

Secara kasat mata, masalah kemacetan di Jakarta masih menjadi penyumbang polusi udara terbesar. Ruang terbuka hijau pun semakin hari semakin menyusut keberadaannya. Ditambah Jakarta masih minim akan keberadaan pohon-pohon besar. Ini artinya, Jakarta tidak memiliki mekanisme penyaring udara alami yang dilakukan oleh pohon-pohon besar.

“Ini yang saya maksud dengan bunuh diri ekologis yang perlahan sedang terjadi di Jakarta. Dari daya dukung lingkungan terhadap tingginya populasi penduduk di Jakarta, tiga hal tadi itu bisa dilihat sebagai ancaman yang sedang terjadi di depan mata. Apalagi ini masih belum bicara tentang kebutuhan yang lain seperti kebutuhan akan energi dan transportasi,” ungkapnya.

Sebagai informasi, sebelumnya, Kepala BPLHD DKI Jakarta, Andi Baso Mappapoleonro menyatakan bahwa berdasarkan hasil pantauan kualitas udara DKI Jakarta selama bulan September 2015 yang diambil dari lima titik lokasi pemantauan, secara umum bisa disimpulkan kualitas udara Jakarta masih cukup baik bagi manusia. Ke lima titik pemantauan tersebut dikatakan Andi terletak di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Perumahan Walikota Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya dan Perumahan Kebun Jeruk.

“Untuk laporan ini kita ambil total kualitas udara paling ekstrim pada bulan September dan itu yang kita munculkan sebagai wakil dari kualitas udara pada bulan itu. Tapi secara umum kualitas udaranya memang masih cukup baik bagi manusia,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top