Jakarta (Greeners) – “Ibu baru pulang dari pasar, ngeluh harga-harga naik. Saya juga jadi ikut pusing nih,” keluh Nur Eka, wartawan sebuah media elektronik di Jakarta beberapa saat lalu.
Keluhan itu menandakan para perempuan akan merasakan beban berlebih ketika harga-harga bahan pangan naik atau justru sulit didapatkan. Dari sudut pandang tersebut, perempuan memiliki peranan penting dalam hal ketahanan pangan.
Hal sama diakui pula oleh Koordinator Divisi Manajemen Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Perikanan (KIARA) Mida Saragih terjadi di sektor yang ia geluti. Menurut Mida, yang juga aktif dalam advokasi perempuan—khususnya nelayan, 85% waktu perempuan nelayan digunakan dalam kegiatan memproduksi, mengolah, dan mendistribusi produk perikanan.
“Berdasarkan temuan KIARA, perempuan nelayan merupakan subjek sekaligus aktor yang berperan mengatasi dampak sosial ekonomi,” katanya di sebuah kedai kopi di Cikini, Jakarta Pusat dua hari lalu.
Di tempat yang sama, Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, mengatakan perempuan memiliki peranan penting dalam menyediakan pangan bagi 237 juta jiwa penduduk Indonesia. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2006, Said mengatakan jumlah petani perempuan mencapai 55,2% sedangkan petani pria hanya 46%. Oleh karena itu ia berpendapat peran petani perempuan sangat besar dalam menyukseskan ketahanan pangan salah satunya dalam pengelolaan lumbung pangan.
“Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan lumbung pangan sangat besar. Sebagai contoh di lumbung Dowaluh, Bantul. Di lumbung ini petani perempuan terlibat dalam seluruh proses dan kegiatan,” kata Said.
Selain itu, tambah Said, perempuan memiliki peranan yang besar sebagai pemimpin bagi proses pendidikan pangan. “Hal yang sama juga berlaku pada penyimpanan, dan pengaturan pola konsumsi untuk keluarga.”
Namun, lanjutnya, sangat disayangkan hampir semua kebijakan disektor pertanian bias laki-laki dan kental nuansa korporasi-kapitalistik. Menurut Said bila itu terus dilanjutkan maka telah terjadi pengingkaran atas kenyataan.
“Petani perempuan pemberi makan rakyat negeri ini, namun dianggap tak berarti, tak ada. Menjadi keharusan berterima kasih kepada petani perempuan bukan justru melupakannya,” tegasnya
Perempuan, khususnya di desa, berperan penting dalam empat pilar kedaulatan pangan. Koordinator Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko menjabarkannya yakni sebagai produsen dan wira usaha pertanian, penjaga kedaulatan pangan yang mencurahkan waktunya untuk mengelola pendapatan dan konsumsi rumah tangga, pengelola penyediaan pangan saat kondisi ekonomi sulit.
Perubahan iklim merupakan salah satu momok paling menakutkan bagi ketahanan pangan. Dampak iklim berubah yang berpengaruh terhadap tidak menentunya angin dan ombak di lautan, telah membuat masyarakat nelayan kesulitan menjaring ikan.
Mida Saragih menambahkan bahwa hal itu pun menjadi sumber dari dampak sosial terhadap perempuan nelayan. Persoalan tersebut memperparah ketidaksetaraan dalam relasi gender antara kaum pria dan perempuan. Semua itu mengacu pada akses sumber daya, informasi, mobilitas, dan proses pembuatan kebijakan. “Di tengah situasi cuaca ekstrem, kenaikan harga bahan pangan dan langkanya bahan bakar di desa-desa pesisir, para perempuan ini menjadi tumpuan harapan masyarakat.” (G11)