Pakar Tawarkan Sagu sebagai Solusi Ketahanan Pangan

Reading time: 3 menit
Pergeseran Vegetasi dan Sagu sebagai Solusi Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Perempuan suku Mairasi mengolah sagu di tepian sungai. Papua Barat (6/2/2018). Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Ahli Gastronomi Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Dr. Saptarining Wulan menyayangkan vegetasi Indonesia yang mengalami perubahan. Dia menerangkan, vegetasi alam Indonesia merupakan hutan hujan tropis dengan ciri tumbuh-tumbuhan tinggi. Dalam satu hektarnya, terdapat sekitar 480 spesies flora dan fauna yang dapat memenuhui kebutuhan furnitur, makanan, dan obat-obatan.

Namun, lanjut Dr. Saptarining, vegetasi Indonesia mengalami perubahan. Saat ini, vegetasi Bumi Pertiwi menjadi prairie atau tanaman rumput tinggi seperti padi, gandum, jagung, dan tanaman yang lebih identik dengan lahan pertanian.

“Kita di Indonesia sudah mengubah vegetasi alam kita yang hutan hujan tropis dari polikultur dalam satu hektar berbagai macam, kita ubah jadi monokultur yaitu padi,” ujar Dr. Saptarining pada acara Sagu Sebagai Solusi Krisis Global, Minggu (11/10/2020).

Baca juga: Dikti Minta Perguruan Tinggi Jadi Imam Pelestarian Lingkungan

Dr. Saptarining melanjutkan, apabila vegetasi hutan hujan tropis dibuka total untuk menjadi lahan pertanian, maka kerusakan tanah niscaya akan terjadi. Kerusakan disebabkan kandungan nutrisi dan humus dalam tanah menurun. Jalan pintas menjaga kesuburan tanah akhirnya dengan menggunakan pupuk dalam jumlah yang banyak.

Penggunaan pupuk, terutama pupuk kimia, dalam jumlah yang banyak ini akan kembali menjadi bumerang yang menambah rusaknya kondisi tanah. Dr. Saptarining menilai tanaman dan lahan dalam vegetasi praire atau monokultur lebih berisiko tinggi dibanding vegetasi hutan hujan tropis yang polikultur. Selain risiko kerusakaan tanah akibat pupuk kimia, vegetasi praire juga dibayangi risiko dari gagal panen. Selain itu, dia tidak mampu menahan kemarau dan hujan yang berkepanjangan serta rentan terhadap serangan hama.

“Apabila (vegetasi) hutan hujan tropis maka akar-akar dapat menahan air dalam tanah dengan jumah besar,” tambahnya.

Sagu: Solusi Ketahanan Pangan yang Dapat Hidup pada Dua Jenis Vegetasi Tanah Air

Mengaitkan pergeseran vegetasi dengan topik ketahanan pangan, Dr. Saptarining menyebut tanaman sagu sebagai solusi ketahanan pangan yang lebih berkelanjutan. Sagu, lanjutnya, bisa hidup di dua vegetasi baik di vegetasi hutan hujan tropis maupun vegetasi prairie. Bahkan, sagu bisa tumbuh di lahan marjinal dan lahan subur.

Menakar keunikan sagu, Dr. Saptarining menilai sagu memiliki banyak kelebihan untuk kebutuhan pangan maupun lingkungan. Dibanding dengan padi, sagu sama sekali tidak memerlukan pupuk. Pasalnya, ujar Dr. Saptarining, sagu memproduksi banyak mikroba pada bagian daun, batang, akar, yang mampu menangkap nitrogen untuk proses fontosintesis. “Tanaman sagu dipupuk atau tidak hasilnya sama,” imbuhnya.

Menilik penggunaan air yang juga menjadi isu besar dalam pangan keberlanjutan, sagu jauh lebih unggul ketimbang padi. Bila dibandingkan dengan padi yang bergantung pada hujan maupun sistem irigasi untuk memenuhi kebutuhan air, sagu jauh lebih efisien. Sagu bisa menahan air dengan jumlah 13 kali lipat dari volumenya. Sehingga, sagu bisa dimanfaatkan masyarakat ketika terjadi kemarau panjang.

“Sagu spesies yang neglected and underutilized. Jadi jumlahnya luar biasa, tapi belum dimanfaatkan secara maksimal,” ucap Dr. Saptarining.

Pergeseran Vegetasi dan Sagu sebagai Solusi Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Pria Sulawesi mengolah sagu dengan cara tradisional. Foto: Shutterstock.

Dia melanjutkan, sagu bersifat replanting. Seperti halnya pisang, sekali menanam sagu dia akan beranak-pinak. Kandungan nutrisi sagu pun sebanding dengan padi. Layaknya padi, sagu juga memiliki kandungan karbohidrat tinggi dan bisa dipanen setiap tahun. Selain itu, lanjut Dr. Saptarining, sagu juga tahan banjir, angin kencang bahkan kebakaran.

“Pada saat kebakaran anakannya memiliki insulasi yang melindungi sehingga tidak mati dan bisa tumbuh lagi,” terangnya.

Dari segi produktivitas, sagu dia nilai baik untuk menjaga ketahanan pangan. Satu pohon bisa menghasilkan 100-300 kg pati sagu kering untuk proses budidaya. Pada kondisi alami satu pohon sagu mampu menghasilkan 800 kg pati. Kelebihan lainnya adalah produk turunan dari sagu yang banyak.

“Kekurangannya protein rendah. Kekurangan bisa jadi kelebihan sebab masa simpan bisa lebih dari lima tahun,” ungkapnya.

Pandemi dan Urgensi Ketahanan Pangan Nasional

Pada kesempatan yang sama, Direktur Program Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), Rony Megawanto mengaitkan topik sagu sebagai solusi ketahanan pangan dengan pandemi Covid-19. Rony menuturkan, secara global pandemi mendorong semua negara melakukan proteksi atau mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Menurutnya, Indonesia perlu memanfaatkan keanekaragama pangan lokal dan ragam budaya pangannya yang tinggi.

Lebih jauh, Rony menekankan kebijakan pangan lokal sangat dipengaruhi dengan adanya regulasi pemerintah. Sebagai contoh, ketika adanya kebijakan lockdown maka akan menghambat jalur distribusi pangan antar negara dan antar pulau di dalam negeri.

Baca: DKI Jakarta Angkut 398 Ton Sampah Sisa Aksi Unjuk Rasa

Menurut Rony, regulasi dari pemerintah terkait pangan lokal harus menyesuaikan hukum ekonomi supply and demand, penawaran dan permintaan. Supply mencakup produksi pangan lokal sesuai dengan budaya lokal, agroklimatologi, dan agroekologi. Sedangkan demand, mencakup kampanye konsumsi pangan lokal.

Rony menerangkan peningkatan konsumsi pangan lokal di Indonesia sangat diperlukan. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan tahun 2019, konsumsi terigu dan beras di Indonesia terus mengalami peningkatan pesat. Sebaliknya, jenis pangan lain seperti singkong, ubi jalar, kentang, dan sagu tidak mengalami peningkatan.

“Kondisi tersebut berdampak pada tingginya impor beras dan gandum di Indonesia,” tambahnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top