Jakarta (Greeners) – Indonesia telah menandatangani Konvensi Minamata tentang merkuri pada tanggal 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang. Penandatanganan konvensi ini mengartikan bahwa Indonesia memiliki komitmen untuk menerapkan Konvensi Minamata. Salah satunya dengan melakukan ratifikasi konvensi. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama dengan Tim Pakar telah menyusun dokumen Naskah Akademis Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri.
Kabag Program dan Evaluasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Fery Huston menyatakan bahwa sebagai salah satu negara yang turut menandatangani Konvensi Minamata, Indonesia wajib untuk segera meratifikasi konvensi tersebut. Itu sebabnya, perlu disusun naskah akademis terkait merkuri.
“Kita berharap dengan keluarnya naskah akademis ini, proses ratifikasi bisa dimulai karena ini keharusan. Kalau sudah masuk ke ratifikasi, kita harus menyiapkan dulu naskah akademisnya. Harapan kita, kalau ini selesai, baru kita maju ke draf rancangan undang-undang,” katanya kepada Greeners saat ditemui usai menghadiri Dialog Publik Naskah Akademis Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri, Jakarta, Kamis (09/06).
BACA JUGA: Akibat Pencemaran Industri, Konsentrasi Logam Berat di DAS Cikijing Meningkat
Lebih lanjut Fery menjelaskan bahwa dokumen naskah akademis ini perlu diinformasikan kepada seluruh pemangku kepentingan di tingkat nasional sebelum diolah menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU). “Tahun 2017 diharapkan sudah bisa keluar RUU-nya,” tambahnya.
Merkuri merupakan bahan kimia yang terdapat di alam yang bersifat toksik, persistent, bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfer. Salah satu kasus pencemaran merkuri yang sangat fenomenal adalah “Minamata Disease”, yaitu kasus pencemaran limbah merkuri akibat pembuangan limbah PT Chisso di Teluk Minamata, Jepang pada tahun 1953.
Di Indonesia sendiri, kasus kesehatan dan dampak merkuri terhadap lingkungan, diakui Fery belum banyak diekspos. Meski demikian, ia menyatakan bahwa pemerintah dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap kasus ini, telah melakukan survei dan penelitian di beberapa daerah pertambangan di Indonesia, antara lain di Banyumas, Lebak, Sekotong dan Minahasa. Hasilnya, kadar merkuri dalam darah, rambut, dan kuku dari masyarakat penambang cukup tinggi.
“Kita harus segera melakukan tindakan, minimal menyadarkan masyarakat. Jangan sampai kasus ini berlanjut karena tidak menutup kemungkinan kasus seperti di Minamata kita alami di Indonesia,” katanya mengimbau.
BACA JUGA: KLHK Deklarasikan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Akibat Tambang
Untuk mengurangi penggunaan merkuri, Fery menyatakan bahwa pemerintah akan mencari teknologi alternatif untuk diperkenalkan kepada masyarakat penambang, termasuk mengikutsertakan Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI).
“Solusi yang kita coba adalah memberikan alternatif teknologi ke masyarakat penambang. Kita sudah kerjasama dengan BPPT dan mengikutsertakan APRI agar teknologi yang digunakan nanti sudah tidak lagi memakai merkuri. Tapi, perlu pentahapan karena karakteristik core-nya beda-beda di masing-masing lokasi penambangan,” katanya.
Merkuri banyak digunakan di bidang kesehatan, seperti untuk termometer dan amalgam gigi; sebagai pengikat emas di kegiatan pertambangan emas skala kecil; industri lampu, dan lainnya. Menurut Fery, sekitar 70 hingga 80 persen merkuri yang ada di Indonesia merupakan impor, dan sebagian besar berasal dari Tiongkok.
BACA JUGA: Waspada! Racun Merkuri Tidak Hanya Mengintai Penambang
Prof. DR. Dr. Rachmadhi Purwana, Pakar Kesehatan Masyarakat yang juga anggota tim penyusun Naskah Akademis Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri, mengatakan bahwa sebaran merkuri di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Ia menyatakan, dampak merkuri tidak terjadi secara langsung melainkan pelan-pelan dan tidak terasa (insidious).
“Bahayanya merkuri itu, ia berpengaruh terhadap syaraf, tapi bukan hanya itu saja. Hati, ginjal, paru-paru akan terkena pengaruhnya, termasuk jantung. Sekali organ-organ itu rusak, tidak bisa disembuhkan lagi,” pungkasnya.
Penulis: Renty Hutahaean