Merkuri, Jalan Pintas Gurandil Mengais Rupiah Meski Bertaruh Nyawa

Reading time: 15 menit
Aktivitas penambangan ilegal emas dengan menggunakan merkuri masih ada di Bumi Pertiwi. Foto: Greeners/Apriohansyah

Jakarta (Greeners) – Dalam perjalanan investigasi tim Greeners, fakta merkuri masih ada di Bumi Pertiwi itu nyata. Penambangan emas di sebuah kampung salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat masih warga lakukan secara manual. Warga naik turun ke lokasi tambang. Menapaki sempitnya lubang tambang, tanpa pengaman, mengeruk bongkahan batu apa saja yang ada.

Memeras air bercampur merkuri dengan menggunakan tangan. Banyaknya korban berjatuhan imbas tanah longsor tak mereka hiraukan. Penertiban yang nyata di depan mata tak mereka acuhkan. Demi sesuap nasi dan bertahan hidup. Tak ada pilihan. Ini kisah nyata, merkuri yang masih lekat di penambangan ilegal.

Pagi itu jalanan berdebu dan menanjak mengiringi perjalanan tim. Untuk mencapai lokasi ini, tim Greeners menempuh waktu berjam-jam dari pusat keramaian kabupaten tersebut. Jalanan penuh dengan pecahan batu dan kerikil tajam. Debu mengepul. Kamis (10/3), pukul 08.00 WIB adalah waktu yang tepat bagi para penambang untuk berangkat ke lokasi tambang. Mereka menuju ke areal bukit. Lokasi bukit ini berada di kawasan hutan lindung.

Sebuah papan pengumuman terpampang jelas bertuliskan peringatan penambang ilegal. “Dilarang melakukan penambangan tanpa izin di dalam kawasan hutan”. Hal itu mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pasal 17 ayat (1). Aturan yang jelas melarang penambangan ilegal di dalam kawasan hutan. Sanksi penjara paling sedikit 3 tahun hingga 15 tahun dan denda paling sedikit Rp 1,5 miliar hingga Rp 10 miliar.

Namun, apalah arti sebuah papan peringatan dibanding asa para penambang emas tak berizin atau gurandil ini. Para penambang ilegal masuk ke lubang tambang sama halnya dengan membiarkan nyawa memasuki lubang kematian. Sebelum menambang, mereka biasa berkumpul. Saling menyapa di sebuah warung untuk sekadar beristirahat. Mereka menyebut warung itu “terminal”.

Bertaruh nyawa masuk ke dalam lubang seperti terowongan yang rawan longsor ketika menambang. Foto: Greeners/Apriohansyah

Mendulang Emas dengan Bertaruh Nyawa

Tim Greeners mengikuti perjalanan menantang ini hingga ke lubang tambang. Sisa hujan kemarin yang berimbas pada beceknya jalanan tak mematahkan semangat tim untuk meneropong aktivitas penambang. Bayangkan saja, lubang tambang hanya seluas 2 kali 1,5 meter hanya beratapkan terpal kumuh berwarna biru.

Lubang sempit menyergap tubuh ramping para penambang ini. Gelapnya dan sempitnya lubang tak menjadi halangan. Mereka menapaki masuk ke dalam lubang mirip terowongan sepanjang 100 meter dan mencari-cari titik-titik atau spot bongkahan batu. Berbekal palu, mereka mulai menataki batuan itu menjadi remah-remah yang lebih kecil dan mengumpulkannya ke dalam karung.

Seorang penambang berinisial A menyatakan di dalam lubang terdapat banyak jalur emas sesuai dengan urat emas. Adapun urat emas perlu dibuktikan sebelumnya dengan survei atau pembuktian terlebih dahulu. “Kalau ada emasnya baru diambil, dites, diglundung pakai air raksa. Sesudahnya pakai air raksa dipencet, ada emasnya baru digali. Itu yang diambil,” kata A di lokasi.

A juga tidak bisa memastikan waktu pemanfaatan dari satu lubang untuk terus ia gali, karena tak menentu hasilnya. Misalnya, ada satu lubang yang bisa penambang gunakan satu hingga dua tahun.

Sebaliknya, ada juga lubang yang dalam hitungan hari sudah tidak bisa penambang gunakan karena tembus dengan lubang lain. “Itu artinya sudah banyak digali oleh penambang dari lubang lain, otomatis enggak ada dan bubar,” imbuhnya.

Bahan baku penambang olah dengan menggunakan merkuri. Foto: Greeners/Apriohansyah

Bertahan dengan Merkuri untuk Menopang Hidup

Greeners juga menemui penambang lainnya, sebut saja C. Ia mengaku lebih baik menjadi penambang merkuri daripada harus mati kelaparan. Terlebih, ia sama sekali tak memiliki skill untuk bekerja di sektor lain.

C sebenarnya tahu apa yang ia lakukan ilegal, tapi ia tak lagi punya pilihan. “Mata pencaharian sehari-hari kan di sini nambang. Cuma kalau di sini ibaratnya tambang ini enggak resmi. Istilahnya ilegal, jadi enggak ada izin, cuma semampu kita sajalah. Dari 2004 (memutuskan nambang) karena saya kan ibaratnya enggak punya pengalaman lain,” ungkap C.

Sebelumnya, C sempat bekerja di bidang konveksi sebagai kuli. Namun, itu tak berlangsung lama mengingat gaji yang ia terima sangat terbatas. Jauh berbeda dengan pendapatan di penambangan.

“Kalau dihitung-hitung penghasilannya (di konveksi) lebih parah. Statusnya kuli dibayar, kita hitung-hitung belum makan, belum bayar kontrakan, enggak ada buat keluarga. Kalau nambang sih sebenarnya tergantung rejeki kita. Kalau ada rejeki bagus kadang seminggu dapat sejuta,” paparnya.

Enam belas tahun bergelut di sektor pertambangan tak berizin bukan waktu yang singkat. Asam garam kehidupan telah ia lalui. Termasuk risiko-risiko ancaman nyawa, dampak kesehatan imbas merkuri hingga penertiban seolah menjadi makanan sehari-hari.

Peristiwa longsor akibat curah hujan yang tinggi pada tahun 2019 lalu di lokasi penambangan emas rakyat di Gunung Pongkor, Bogor menyebabkan 20 orang tertimbun dan 5 orang tewas. Kejadian besar itu tak membuat nyali gurandil ciut. Nyawa menjadi taruhan mereka demi memastikan kebutuhan sehari-hari terpenuhi.

Penambang membawa batu hasil tambang yang akan mereka olah. Foto: Greeners/Apriohansyah

Ada Dugaan Aktivitas PETI Picu Banjir dan Longsor

Tak hanya itu, pernah ada peristiwa lainnya, aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) diduga menjadi salah satu penyebab banjir dan tanah longsor, terutama di daerah Lebak di Banten dan Bogor di Jawa Barat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat setidaknya luasan terdampak dari aktivitas pertambangan sekitar 178 hektare (ha) di hulu sungai Ciberang yang berada dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Bukan bencana atau ancaman merkuri yang membuat C dan para penambang tanpa izin di lokasi itu ketakutan. Tapi justru pada aparat yang mampu menertibkan sumber nafkah sehari-hari mereka. Kerap kali, C dan para penambang lainnya memasang kecurigaan pada orang-orang tak mereka kenal yang ada di area tambang adalah aparat penertiban.

Namun, pilihan menjadi legal tak semudah itu. “Kalau kita minta izin ke atas pasti butuh modal. Boro-boro kita ada modal buat ke situ. Kita masih cari isi perut sehari kan kesulitan,” imbuhnya.

C mengaku di area pertambangan ini kebanyakan didominasi perak dan emas yang kadarnya kecil, seperti dua hingga tiga gram. Dalam sehari, C bisa menghasilkan satu hingga dua gram emas dan menghasilkan uang Rp 150.000 hingga Rp 200.000.

“Itu pun belum dikurangi upah untuk kuli numbuk, serta beli kuik. Kita terima bersihnya Rp 50.000 hingga Rp 100.000,” ujar dia.

C mengaku mendapatkan merkuri atau kuik dari penjual emas atau billion. Ia tak membeli merkuri dengan cash, tapi mencicil hasil emas yang ia jual ke mereka. Transaksinya cukup sederhana. Ia membeli merkuri seharga Rp 300.000 hingga Rp 1 juta. Uang pembelian merkuri mereka cicil melalui pemotongan hasil penjualan emas kepada penjual emas.

“Misalnya kita dapat penjualan emas seharga Rp 300.000, lalu diambil Rp 100.000 oleh billion,” ujarnya.

Pengolahan emas bermerkuri penambang lakoni meski berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Foto: Greeners/Apriohansyah

Penambang Terbuka Jika Ada Alternatif Mata Pencaharian

C mengaku sangat terbuka bila pemerintah berinisiatif melegalkan dengan memberikan kepastian berupa pelatihan agar mereka menambang secara legal. Jaminan keamanan dan kenyamanan lebih penting agar mereka bisa menambang dengan tenang. Termasuk mereka siap bila penambangan menggunakan merkuri berganti dengan penambangan yang lebih ramah lingkungan. Mereka pun siap mendapat pelatihan. Pengalaman di masa lalu C pernah dipidana imbas penambangan ilegal banyak memberinya pelajaran.

“Saya kemarin di Padang itu ada bos, kontrak Rp 20 juta per tahun itu tanah milik, ada sertifikat. Nah setelah kejadian itu ternyata tanah itu milik orang tuanya. Yang mengontrak kakaknya dan adiknya enggak dapat bagian. Akhirnya saya turut terimbas. Lima bulan saya masuk sel di Padang, gara-gara nambang ilegal di Sawah Lunto,” ungkapnya.

Ia pun sangat terbuka bila pemerintah berinisiatif membuka peluang kerja yang lebih baik. Hal ini untuk memastikan keberlanjutan penghidupan mereka daripada terus menerus bekerja sebagai gurandil.

“Misalnya ada kerjaan lain, sudah pada ditinggalin penambangan ini. Ya namanya manusia kan kadang kalau sudah tua enggak bisa kerja (di tambang). Cuma mau gimana lagi, kita sehari-harinya cuma gitu aja walaupun penghasilan enggak maksimal. Yang penting bisa menghidupkan keluarga,” papar C.

Bersentuhan selama 8 jam dengan merkuri untuk tetap bertahan hidup. Foto: Greeners/Apriohansyah

Delapan Jam Bersentuhan dengan Merkuri Setiap Mengolah Emas

Ancaman para penambang tak berizin ini tak sebatas saat mereka berada di area pertambangan. Namun, berlanjut hingga pengolahan emas menggunakan merkuri. Bongkahan batu atau ore yang telah mereka dapatkan kemudian mereka tumbuk hingga menjadi butiran yang halus.

Butiran batu halus ini kemudian mereka olah menggunakan mesin khusus dan glundung. Mesin yang telah penambang nyalakan mampu membuat larutan merkuri mengikat emas dan memisahkan larutan lumpur batuan. Butuh waktu sekitar 8 jam pada proses yang menggunakan mesin khusus dan glundung ini.

Kemudian, larutan merkuri mereka tekan hingga membentuk gumpalan batuan emas bermerkuri. Batuan ini harus mereka bakar terlebih dahulu dengan tujuan agar merkuri menguap ke udara sehingga menghasilkan emas yang bisa mereka jual.

Lokasi penambang ilegal mencari batuan yang mereka olah dengan merkuri lalu menghasilkan emas. Foto: Greeners/Apriohansyah

Paparan Merkuri Mengkhawatirkan di Atas Batas Aman

Riset World Bank, Biodiversity Research Institute dan Nexus3 pada Juni 2021 lalu menunjukkan, Indonesia termasuk dalam kategori negara peringkat kedua dengan tingkat kerentanan ekosistem yang tinggi terhadap merkuri. Hal ini berdasarkan atas lepasan emisi pada sektor pertambangan emas skala kecil (PESK).

Penasihat Senior Nexus for Health, Environment and Development (Nexus3) Yuyun Ismawati menyatakan, riset tersebut tim lakukan di lima wilayah di Indonesia, yaitu Minahasa Utara, Landak, Sukabumi, Garut, serta Lombok Barat.

Tim mengambil sebanyak lebih dari 1.000 sampel mulai dari aspek lingkungan (air, tanah, sedimen dan udara), biomarker manusia (darah, rambut, urin dan kuku), serta biota (ikan, tanaman, buah dan beras).

“Kenapa kita ambil sampel itu? Saat proses pembakaran merkuri itu menghasilkan uap berupa emisi dan bertahan lama hingga satu tahunan di udara. Saat terbasuh air hujan, emisi tersebut turun bersamaan dengan air hujan ke tanah,” ungkapnya.

Hasilnya menunjukkan, ketiga aspek tersebut mengandung rata-rata konsentrasi merkuri di atas batas aman standar global. Kecuali pada sampel ikan yang sama dengan batas aman. Misalnya pada rata-rata umum urin di angka 43,86 ppm dan angka maksimal 3.364 ppm. Padahal batas amannya 5 ppm.

Yuyun Ismawati dari Nexus3 melakukan riset dan pendampingan pada anak-anak korban paparan merkuri. Foto: Nexus3/Yuyun Ismawati

Ikan, Biota Laut dan Komoditas Pertanian pun Ikut Tercemar

Ikan, kerang hingga beragam jenis biota laut menjadi makanan sehari-hari yang masyarakat konsumsi. Begitu pula dengan tanaman, baik itu beras, buah hingga sayur yang ditanam di tanah yang terkontaminasi paparan merkuri akan berimbas pada kesehatan masyarakat.

Dampaknya, sambung Yuyun mulai dari cacat, kerusakan ginjal, gangguan syaraf, hingga penurunan tingkat intelegensi.

Pada sampel biomarker orang dewasa yang tinggal di area sektor PESK menunjukkan konsentrasi merkuri 57 % (dari indikator rambut). Demikian pula dengan sampel anak-anak yang memiliki tingkat konsentrasi merkuri sebesar 28 %. Sementara dilihat dari tingkat konsentrasi pada indikator rambut dan dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia menduduki tingkat kedua sebesar 70 %.

“Saat kita tanya ke anak-anak, mereka kebanyakan mengeluhkan sering pusing, mimisan beberapa kali sehari hingga asma. Beberapa gejala itu diduga memang karena terpapar merkuri,” imbuhnya.

Nexus3 bersama anak-anak di sekitar tambang bermerkuri. Foto: Nexus3/Yuyun Ismawati

Paparan Merkuri Ancam Anak dan Cacat Janin pada Ibu Hamil

Selain anak-anak, ia juga menyebut kerentanan paparan merkuri pada ibu hamil akan berdampak pada janin yang ada di dalam kandungannya. Ia menemukan beberapa rambut ibu hamil memiliki kandungan dengan konsentrasi merkuri yang tinggi.

Hasil secara keseluruhan pada semua biomarker manusia menunjukkan tiga perempat atau 75 % orang dewasa yang berlokasi di area PESK berada di atas batas aman. Sedangkan 59 % orang dewasa yang tak terlibat langsung di area PESK berada di atas batas aman. Demikian pula dengan 43 % tingkat konsentrasi terhadap merkuri pada anak-anak berada di atas batas aman.

Yuyun merekomendasikan agar Indonesia memiliki banyak laboratorium metil merkuri yang tersebar di seluruh titik-titik keberadaan PESK di wilayah Indonesia. Hal ini krusial untuk mendukung program pengurangan dan penghapusan merkuri melalui riset dan pengujian merkuri. “Jadi kita bisa mengukur sejauh mana (tingkat konsentrasi merkuri) di negara kita,” ucapnya.

Komitmen Pemerintah Hapus dan Larang Merkuri

Pemerintah berkomitmen dalam upaya pengurangan dan penghapusan merkuri. Hal ini pemerintah tandai dengan penandatanganan Konvensi Minamata pada tahun 2013 kemudian meratifikasinya tahun 2017 melalui UU Nomor 11 Tahun 2017. Kemudian, terbitlah Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019.

Penunjukan Indonesia menjadi tuan rumah Convention of Parties (COP-4) Minamata Convention on Mercury merupakan pembuktian komitmen kuat kepada dunia internasional untuk mengentaskan penggunaan merkuri. Pertemuan ini menjadi momentum untuk kembali mengingatkan pada tragedi di Minamata, Jepang tahun 1950 yang menyebabkan pencemaran, penyakit cacat fisik dan syaraf.

Mengutip situs KLHK, 20 September 2017, Presiden Republik Indonesia secara resmi telah mengesahkan Undang-Undang No 11 Tahun 2017 Tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri).

Sebelumnya dalam Rapat Paripurna ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2017-2018, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui untuk mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang.

Pemerintah Indonesia telah secara resmi melakukan depository kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika pada 22 September 2017.

Direktur Jenderal PSLB3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati. Foto: Dirjen PSLB3 KLHK

Petik Pelajaran Berharga dari Minamata

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyatakan, peristiwa Minamata di Jepang hendaknya memberi banyak pelajaran berharga bagi Indonesia.

President Convention of Parties (COP-4) Minamata Convention on Mercury ini menyebut, acara yang berlangsung pada 21-28 Maret 2021 merupakan bentuk komitmen kuat pemerintahan Indonesia dalam menangani kasus merkuri di Indonesia.

Adapun bentuk konkret dari Konvensi Minamata yaitu menghasilkan Deklarasi Bali yang poinnya tentang pemberantasan merkuri ilegal. Harapannya Indonesia mampu mengajak 135 negara yang tergabung dalam COP-4 Minamata Convention on Mercury bersama-sama memberantas perdagangan ilegal merkuri.

“Karena perdagangan ilegal merkuri tidak dari Indonesia saja tapi juga masuk dari negara-negara lain,” ucap Vivien.

Penambang punya harapan adanya alternatif mata pencaharian yang menjanjikan kelayakan hidupnya. Foto: Greeners/Apriohansyah

Perdagangan Ilegal Merkuri Dunia Capai Rp 3 Triliun

Berdasarkan laporan United Nations Environmental Programme (UNEP) tahun 2020 total nilai perdagangan ilegal merkuri di dunia mencapai lebih dari Rp 3 triliun. Ini terjadi seiring dengan naiknya permintaan emas pada masa pandemi.

Sementara lebih dari 50 % perdagangan ilegal merkuri global berasal dari sektor PESK. Mengingat kontribusi PESK sangat besar, Vivien menegaskan, pemberantasan merkuri harus pemerintah lakukan dari hulu (perdagangan merkuri) hingga hilir (PESK). Hal ini mengacu dengan target Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) bidang PESK yang targetnya tuntas 100 % pada tahun 2025.

“Akar permasalahan PESK ini adalah faktor pendapatan atau pekerjaan para PESK,” imbuhnya.

PESK masih cukup marak ada di Indonesia. Parahnya, sambung Vivien penambangan emas ini ilegal sehingga di luar pengawasan pemerintah. Mereka memanfaatkan merkuri yang mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan.

“Jadi mereka membuka lahan untuk penambangan hingga membuang sisa pengolahan begitu saja. Padahal bahan kimia, termasuk merkuri di dalamnya itu bisa mencemari sungai, tanah, sawah,” tandasnya.

Pemerintah Tegas Berantas Tapi Berjanji Tak Lepas Tangan

Pemerintah berupaya memastikan keberlanjutan nasib para penambang emas dengan syarat telah menetap menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di wilayah WPR ini pemerintah yang menetapkan.

Penambang yang telah mendapat legalitas ini melakukan penambangan secara bertanggung jawab terhadap lingkungan dan berkontribusi terhadap pajak negara. Mereka dapat pembinaan dan pelatihan untuk penambangan emas melalui teknologi tanpa merkuri.

Lain halnya dengan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang masih menggunakan merkuri sehingga berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Vivien menegaskan, aparat penegak hukum Polri dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK bersinergi untuk memberantas perdagangan PESK ilegal ini.

“Kami bekerja sama dengan Polri untuk memberantas mereka. Apabila pertambangan rakyat maka bisa kita bantu dengan pengolahan emas non merkuri, tapi kalau tidak pasti kita berantas,” tegasnya.

Alternatif Menambang Tanpa Merkuri

Kendati demikian, Vivien mengungkapkan pemerintah tak lepas tangan akan nasib para penambang ilegal yang telah aparat penegak hukum berantas. “Karena tidak mungkin diberantas, kemudian rakyatnya dibiarkan tak mendapatkan pekerjaan,” imbuhnya.

Meski tak mudah, pemerintah berusaha mendorong penambang tak berizin ini untuk berlatih skill baru dan beralih profesi. Baik itu menjadi petani perhutanan sosial hingga mengembangkan potensi daerah menjadi wisata. “Itu kami ada yang kita kembangkan di Banyumas tentang hal itu,” ujarnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), capaian pengurangan merkuri tahun 2021 yaitu 16,1 ton dari kontribusi tujuh lokasi PESK. Lokasinya antara lain di Kabupaten Tojo Una-Una di Sulawesi Tengah, Konawe, Bau-bau, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara di Sulawesi Tenggara dan Langkat di Sumatera Utara.

“Selain kegiatannya tidak ada, tapi masih juga yang ada tapi melalui penggantiannya dengan teknologi non merkuri,” imbuhnya.

Capaian Pengurangan Merkuri

Sementara itu mengacu pada pelaporan RAN PPM tahun 2019 dan tahun 2020, capaian pengurangan merkuri mengalami kenaikan cukup signifikan. Dalam sektor PESK, tahun 2019 berhasil mengurangi 10.450 kilogram merkuri. Lalu tahun 2020 sebesar 12.448 kilogram. Di sektor ini ada penambahan pengurangan sebesar 1.998 kilogram dalam dua tahun.

Selanjutnya pada sektor kesehatan pengurangan merkuri mengalami penurunan 2.415 kilogram karena ketersediaan jumlah alkes yang berkurang. Tahun 2019 sebesar 7.146 kilogram dan tahun 2020 sebesar 4.731 kilogram.

Pada sektor manufaktur terjadi kenaikan pengurangan merkuri sebesar 234,3 kilogram, tahun 2019 sebesar 135,7 kilogram dan 2020 sebesar 370 kilogram. Sektor energi menyumbang peningkatan penurunan merkuri sekitar 200 kilogram. Tahun 2019 pengurangan merkuri di sektor energi 500 kilogram lalu pada 2020 sebesar 700 kilogram.

Dadan Nurjaman memperlihatkan teknologi pengolahan emas tanpa merkuri. Foto: BRIN

Teknologi Penambang Emas Non Merkuri

Kepala Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional Dadan Moh Nurjaman menyatakan, saat ini ada 850 titik pertambangan emas di seluruh Indonesia yang tersebar di 197 kabupaten. Adapun untuk estimasi produksi PESK kurang lebih mencapai 21,84 ton. Sementara emisi karbon yang PESK hasilkan mencapai 345,5 ton.

Ia menyatakan, sangat mungkin adanya teknologi pengolahan emas lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab tanpa menggunakan merkuri. Tak hanya itu, Dadan juga menyebut, teknologi yang menggunakan sianida sebagai pelarut emas ini mampu memberikan hasil emas lebih banyak daripada merkuri. “Kalau menggunakan merkuri di bawah 50 %. Berbeda halnya dengan sianida yang mencakup hingga 91 %,” kata Dadan.

Ia memastikan, pemanfaatan sianida sebagai pengganti merkuri tak akan membahayakan lingkungan karena ada pengolahan terlebih dahulu. Hasilnya sianida bebas menjadi sianat yang lebih ramah lingkungan memenuhi baku mutu.

“Kita sudah menemukan kurang lebih empat jam bisa mendistruksi dari 200 ppm sianida menjadi 5 ppm bahkan sampai memenuhi baku mutu, yakni 0,5 ppm,” ucapnya.

Beberapa penambang yang telah melakukan penambangan secara legal di antaranya ada di daerah Tatelu, Minahasa Utara, Kuantan Singingi Riau, Kulon Progo (sedang proses penyusunan IPR dan WPR), P. Obi, serta Gorontalo.

“Sementara beberapa yang telah mengimplementasikan di lokasi tambangnya seperti di Lombok, menyusul kemudian Minahasa Utara yang akan dibuat pilot plant untuk pelatihan,” tuturnya.

Teknologi pengolahan emas tanpa merkuri aman tidak mencemari lingkungan. Foto: BRIN

Tunggu Keseriusan Pemerintah Jamin Penambang Mencari Nafkah

Ketua Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Gatot Sugiharto mengatakan, upaya pengurangan dan penghapusan merkuri di PESK hendaknya diiringi keseriusan pemerintah untuk memastikan kemudahan dan fasilitas serta keberlanjutannya.

Para penambang yang belum mengantongi izin sangat berharap, pemerintah serius untuk membina mereka. “Sebenarnya kita sudah sangat terbuka. Hanya saja upaya pengurangan dan penghapusan merkuri sebaiknya diikuti dengan kemudahan legalitas kita,” ucapnya.

Gatot mencontohkan, satu kelompok dari anggota APRI di Banyumas yang juga telah menjadi penambang binaan KLHK dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pembinaan sudah berlangsung selama delapan tahun tapi IPRnya belum juga keluar.

“Kadang pula ada penerbitan IPR yang tak prosedural. Sehingga kadang-kadang di tempat izin WPR ternyata emasnya tidak ada. Sama saja nantinya nambang juga di luar izin,” imbuhnya.

Akan tetapi, Gatot juga meminta pemerintah harus membina mereka secara serius. Ia mendorong agar ada pelatihan intensif penggunaan teknologi penambangan emas non merkuri. Misalnya, melalui pelatihan secara langsung ke tingkat pusat, provinsi dan ke kabupaten secara terus menerus. Sosialisasi dan edukasi berupa penguatan juga perlu, agar masyarakat semakin sadar akan bahaya merkuri.

Penolakan Penambang untuk Beralih Profesi

Terkait wacana pemerintah yang akan menuntaskan penambang ilegal dan mendorong pada pengalihan profesi, Gatot merasa tersinggung. Ia merasa bahwa upaya tersebut tak masuk akal mengingat latar belakang mereka yang memang lahir sebagai penambang.

“Masa orang penambang tapi disuruh jadi petani. Sama halnya dengan dokter yang dijadikan tukang masak,” ujarnya.

Tambang rakyat merupakan salah satu sektor yang banyak menciptakan lapangan kerja dengan penghasilan minimal di atas upah minimum regional (UMR) Jakarta. Dalam luas lahan sekitar 10 hektare mampu menyerap pekerja masyarakat sebanyak 500-1.000 lapangan kerja.

Apabila pemerintah mau memberdayakan dan memastikan keberlanjutannya akan berpotensi besar memberikan pajak ke pemerintah minimal Rp 1 miliar per tahun.

Penambang Rakyat Legal Bertanggung  Jawab Terhadap Lingkungan

Sementara itu Plt Direktur Teknik dan Lingkungan Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Muhammad Wafid menegaskan, pentingnya legalitas melalui IPR pada para penambang.

Pasalnya, penambang yang telah memiliki IPR bertanggung jawab untuk dapat memastikan good mining practice yang lebih ramah lingkungan dan kesehatan. Ia menekankan para PETI untuk segera beralih menjadi penambang rakyat (yang telah berizin memiliki IPR).

“Penambang rakyat memiliki izin resmi dari pemerintah dan mereka berkewajiban mengelola keselamatan dan lingkungan. Kalau tak berizin tentu tak memperdulikan hal itu,” katanya.

Hasil identifikasi Kementerian ESDM menemukan sebanyak 2.741 praktek PETI, dengan 2.645 titik lokasi PETI komoditas mineral.

Masyarakat perlu berhati-hati memilih kosmetik. Jangan pilih yang bermerkuri. Foto: Shutterstock

Bayang-Bayang Bahaya Kosmetik Bermerkuri

Penggunaan merkuri ada juga pada berbagai produk yang masyarakat gunakan. Misalnya, termometer, tensimeter, batu baterai, lampu bertekanan tinggi, tensimeter hingga kosmetik. Sementara, aturan pengurangan dan penghapusan merkuri termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019.

Khusus untuk merkuri pada sektor kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan penarikan dan penghapusan 100 % pada tahun 2020 lalu pada alat kesehatan.

Akan tetapi pada sektor lain, yakni kosmetika masih ditemukan kandungan merkuri di dalamnya. Berdasarkan hasil sampling dan pengujian dalam periode Juli 2020 hingga September 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sebanyak 18 item produk yang berbahaya. Temuan produk yang didominasi berbahan Hidrokinon dan pewarna di antaranya mengandung Merah K3 dan Merah K10.

“Penggunaan kosmetika yang mengandung Hidrokinon dapat menimbulkan iritasi kulit, kulit menjadi merah dan terbakar serta ochronosis (kulit berwarna kehitaman),” kata Kepala BPOM Penny K Lukito.

Berdasarkan laporan tersebut, sebanyak 97 kosmetika mengandung bahan berbahaya termasuk di dalamnya merkuri. Produk tersebut tidak terdaftar di BPOM. “Sementara untuk nilai ekonomi temuan kosmetika ilegal dan mengandung bahan berbahaya sebesar Rp 42 miliar,” imbuhnya.

Badan POM menyatakan, telah melakukan penertiban ke fasililitas produksi dan distribusi, termasuk retail. Sebagai tindak lanjut pengawasan, pemilik nomor izin edar telah pemerintah perintahkan menarik produk-produk tersebut dari peredaran dan memusnahkannya. Badan POM juga mencabut izin edar kosmetika tersebut.

Dokter Tompi mengingatkan konsumen untuk berhati-hati akan bahaya yang ada dari kosmetik bermerkuri. Foto: IG Tompi

Kosmetik Bermerkuri Bisa Picu Kanker Kulit

Sementara itu dokter klinis dr Tompi menyatakan penggunaan skincare hingga kosmetik palsu yang mengandung bahan berbahaya seperti merkuri dapat memicu permasalahan kulit. Lebih parahnya lagi, kandungan merkuri dapat masuk ke sistem pencernaan hingga saraf.

“Tak hanya merusak kulit, tapi bisa terserap ke dalam tubuh kita. Misalnya merusak sistem pencernaan bahkan kanker. Masyarakat harus mewaspadai ancaman kanker kulit akibat merkuri,” kata dr Tompi.

Ia menyebut, efek jangka pendek pada pemakaian skincare dan kosmetik berbahan merkuri memang bisa menyebabkan kulit menjadi glowing. Sementara efek buruk berupa bahaya kesehatan memang tak terasa pada pemakaian jangka pendek. “Tapi bahayanya ke efek jangka panjang,” ungkapnya.

Selain merkuri, beberapa bahan berbahaya lain dalam krim pemutih kulit juga perlu masyarakat waspadai. Misalnya, kandungan hydroquinone, merkuri dan steroid. “Karena sangat cepat mencerahkan kulit, penggunaan jangka panjang dari bahan stereoid ini juga bisa membuat kulit jadi tipis,” imbuhnya.

Temuan fakta di lapangan ini, memberi bukti nyata merkuri masih ada di Indonesia. Penambang ilegal pun punya harapan memiliki profesi yang lebih baik dengan penghasilan yang layak. Asa mendapatkan latihan, alternatif teknologi sangat mereka nanti. Gurandil butuh pendekatan manusiawi bukan hanya diberondong pasal berlapis dan jeruji besi!

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top