Jakarta (Greeners) – Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, menyampaikan bahwa Indonesia berencana menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam 15 tahun ke depan. Rencana ini menjadi langkah penting untuk mencapai target transisi energi terbarukan yang berkeadilan.
Prabowo juga menyampaikan pernyataan serupa dalam APEC CEO Summit 2024 di Peru. Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan mencapai swasembada energi hijau dalam beberapa tahun mendatang. Ia juga memastikan bahwa energi terbarukan akan memasok 100 persen listrik dalam waktu sepuluh tahun.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai rencana menghentikan operasional PLTU pada 2040 dan mencapai 100 persen energi terbarukan sebagai langkah positif. Menurut IESR, langkah tersebut menjadi sinyal dari ambisi Presiden Prabowo untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Langkah ini juga sejalan dengan upaya global untuk membatasi pemanasan bumi hingga 1,5 derajat Celsius sesuai dengan Persetujuan Paris.
BACA JUGA: PT PLN dan HDF Energi Jalin Kerja Sama untuk Capai NZE 2060
Menurut studi IESR, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, yaitu 7.879,43 GW dari sumber daya surya, angin, air, dan biomassa. Selain itu, Indonesia juga memiliki 7.308,8 GWh untuk Penyimpanan Energi dalam Sistem Hidro (PHES). Potensi ini memungkinkan Indonesia untuk melakukan transisi energi secara cepat dan berbiaya rendah.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa langkah ini memungkinkan penetrasi energi terbarukan mencapai 40 persen dalam bauran energi primer sektor listrik pada 2030.
Namun, untuk mencapai target tersebut, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN perlu segera menyelesaikan peta jalan penghentian operasi PLTU. Peta jalan tersebut harus sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang menetapkan target penghentian operasional PLTU pada 2040.
“Kami juga menyarankan agar segera dibentuk gugus tugas dekarbonisasi kelistrikan yang berisi wakil lintas kementerian dan PLN, dipimpin oleh figur yang tegas dan memahami persoalan dan melapor langsung ke presiden,” kata Fabby lewat keterangan tertulisnya.
Perlu Investasi Besar untuk Hentikan PLTU Batu Bara
Penghentian operasional PLTU batu bara memerlukan investasi besar-besaran untuk membangun pembangkit energi terbarukan dan penyimpanan energi. Hal ini bertujuan untuk menggantikan listrik yang PLTU hasilkan serta memenuhi pertumbuhan permintaan listrik. Butuh investasi sekitar USD 1,2 triliun.
Selain itu, perlu upaya untuk mengakhiri operasi PLTU secara dini, terutama bagi Independent Power Producer (IPP) yang memiliki kontrak dengan PLN hingga 2056. Pemerintah dapat mempertimbangkan skema pembiayaan campuran (blended finance) dan karbon kredit dari proyek yang mendukung transisi energi (transition carbon credit). Keduanya untuk membiayai penghentian operasional PLTU lebih awal.
Berdasarkan studi IESR berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia, penghentian dini semua PLTU batu bara di jaringan PLN pada tahun 2040 dapat mencegah hingga 182.000 kematian dini akibat polusi udara. Perkiraannya, langkah ini juga dapat mengurangi beban biaya kesehatan hingga USD 130 miliar atau sekitar Rp1.900 triliun.
BACA JUGA: Dari Desa hingga Pesantren: Inisiatif Climate Rangers Gunakan Energi Terbarukan
Selain itu, terdapat 4,5 GW PLTU yang sudah tua dan tidak efisien yang dapat segera dipensiunkan. Langkah ini dapat mengurangi emisi hingga 28,8 juta ton CO2 per tahun. Bahkan, bisa meningkatkan kualitas udara, air, dan kesehatan masyarakat.
Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, mengatakan bahwa penghentian PLTU ini memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan. Namun, beban biaya untuk pensiun dini PLTU—terutama biaya pensiun aset, penurunan pendapatan pemerintah, serta biaya transisi pekerja—perkiraannya mencapai USD 4,6 miliar hingga 2030.
“Biaya meningkat sesuai dengan akselerasi pengakhiran PLTU hingga mencapai USD 27,5 miliar pada rentang waktu 2040-2050. Oleh karena itu, dukungan pendanaan internasional menjadi sangat penting untuk memastikan transisi ini berjalan secara adil dan berkelanjutan,” papar Deon.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia