Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2018, Tata Kelola Kawasan Pesisir Masih Semrawut

Reading time: 2 menit
kawasan pesisir
Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyelenggarakan Temu Akbar Masyarakat Pesisir yang dihadiri oleh 150 nelayan dari Aceh hingga Papua untuk membahas berbagai masalah terkait kawasan pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir nelayan. Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan bahwa nelayan Indonesia pada masa kini bukan hanya menghadapi masalah perubahan iklim yang ekstrim, tetapi yang lebih besar lagi yaitu menghadapi para investor tambang yang mengurangi sumber pencaharian dan kehidupan para nelayan.

“Bahkan pada sejumlah kasus masyarakat pesisir dan nelayan dikiriminalisasi karena menentang kerusakan lingkungan yang mengancam kehidupan mereka akibat aktivitas tambang yang merusak pesisir,” ujar Susan pada diskusi panel dalam acara dengan tema Masyarakat Pesisir Indonesia Berdaulat, Mandiri dan Sejahtera di Goethe Institute Indonesia, Jakarta, Selasa (16/10/2018).

BACA JUGA: Hak dan Kesejahteraan Pekerja Perikanan Belum Terlindungi 

Dalam diskusi ini, beberapa nelayan mengungkapkan sulitnya ruang gerak mereka di laut setelah digempur sejumlah perusahaan tambang yang masuk di wilayah pesisir tempat hidup mereka. Fitriyati, 28, warga pesisir dari Tumpang Pitu (pesisir selatan Banyuwangi), Jawa Timur, mengungkapkan kondisi desanya yang kini terampas ruang hidupnya.

“Perusahaan pertambangan emas itu menyebabkan kami kini sulit mencari ikan, dan lingkungan kami pun sudah sangat tercemar. Kami harus mendengar ledakan-ledakan yang menghancurkan tebing dan kadang longsor yang membuat laut kami seperti ‘kopi susu’. Ketika kami ingin membela kehidupan kami, kami dikriminalisasi dan dituduh PKI,” ungkapnya.

Fitriyati sendiri baru beberapa bulan yang lalu dibebaskan dari tahanan karena aktivitasnya bersama sejumlah warga yang menolak keberadaan tambang di pesisir desanya.

“Saya hanya memikirkan anak-anak kami. Kami ingin mereka hidup dan berkembang di lingkungan yang baik dan sehat. Kami ingin negara hadir dan berada bersama rakyatnya bukan pada perusahaan-perusahaan yang telah merampas ruang hidup kami,” katanya dalam forum.

Sehubungan dengan keluhan tersebut, Susan mengingatkan kepada pemerintah bahwa banyak kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pesisir, salah satunya reklamasi. Menurutnya, reklamasi tidak dibutuhkan oleh nelayan Indonesia karena pulau-pulau yang ada di Indonesia sendiri sudah sangat banyak, yaitu sekitar 16.056 pulau.

“Mengenai kebijakan zonasi harusnya dirumuskan bersama masyarakat yang ada di lingkungan pesisir agar menguntungkan masyarakat, bukan perusahaan,” kata Susan.

BACA JUGA: RZWP3K Dinilai Belum Memperhatikan Kedaulatan Masyarakat Pesisir 

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Agus Dermawan mengatakan bahwa perlindungan nelayan sudah diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aturan ini memberikan ruang sebesar mungkin kepada masyarakat pesisir agar menjadi tuan rumah di lingkungannya sendiri, salah satunya dengan program zonasi.

“Di dalam poin pengelolaan pesisir ini ada satu permasalahan yang sekarang kita dorong tentang penataan ruang laut supaya jelas pembagiannya termasuk memberikan ruang prioritas yang besar terhadap masyarakat pesisir dan masyarakat hukum adat yang bisa mengelola kawasan pesisir. Hal itu bisa diatur dengan program zonasi. Jadi nanti akan jelas semua tidak ada ruang kosong di wilayah pesisir dan jelas dipetakan di dalam rencana zonasi,” ujar Agus.

Agus juga menekankan bahwa program zonasi harus ada di dalam peraturan pemerintahan daerah supaya ketika ada perubahan jabatan, kawasan zonasi yang sudah dibagi tidak berubah dan masih berpegang teguh kepada peraturan zonasi yang ada di dalam peraturan Pemda.

“Wajib hukumnya seluruh provinsi memiliki rencana zonasi yang disepakati bersama komunitas pesisir. Sampai saat ini belum semua provinsi memiliki perda zonasi ini, baru ada 13 provinsi yang memilki peraturan daerah tentang rencana zonasi, sisanya masih diskusi,” pungkas Agus.

Penulis: Dewi Purningsih

Top