Terlambat Beraksi Nyata, Perburuk Dampak Perubahan Iklim

Reading time: 3 menit
Perlu aksi nyata untuk mencegah dampak perubahan iklim. Aksi yang terlambat hanya akan memperburuk dampaknya. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) dalam laporan terbarunya menyebut, pandemi Covid-19 menambah ancaman besar terhadap perubahan iklim. Sebab dua tahun terakhir perhatian dunia tak lepas dari pandemi Covid-19, yang merenggut banyak nyawa hingga meruntuhkan perekonomian dunia.

Dalam laporannya tersebut, IPCC mengingatkan akan dampak buruk dan ancaman keterlambatan aksi perubahan iklim.

“Laporan itu adalah peringatan mengerikan tentang konsekuensi dari kelambanan tindakan. Ini menunjukkan perubahan iklim adalah ancaman besar dan meningkat terhadap kesejahteraan kita dan planet yang sehat,” kata Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB.

IPCC merupakan badan PBB yang menangani tentang perubahan iklim. Laporan ini merupakan laporan kedua dari tiga laporan penilaian dari IPCC ke-6 (Assessment Report 6/AR6) sejak berdiri tahun 1988. Laporan ketiga akan terbit pada paruh kedua tahun 2022.

Pada 28 Februari lalu, IPCC merilis laporan tentang “Perubahan Iklim 2022: Dampak, Adaptasi dan Kerentanan” memperingatkan dampak buruk perubahan iklim terhadap kesehatan mental. Perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan masalah kesehatan mental, di antaranya kecemasan, stres traumatis akut, depresi hingga masalah tidur.

Laporan ini mengungkap, bahwa beberapa tantangan kesehatan mental terkait dengan dampak perubahan iklim, seperti lingkungan yang lebih hangat hingga trauma peristiwa bencana. Pada tingkat pemanasan global yang lebih tinggi, risiko terhadap kesehatan fisik dan mental kemungkinan besar juga akan meningkat.

“Peristiwa iklim serupa dapat mengakibatkan berbagai hasil kesehatan mental potensial. Termasuk kecemasan, depresi, stres traumatis akut, gangguan stres pascatrauma, bunuh diri, penyalahgunaan zat dan masalah tidur. Dengan kondisi berkisar dari yang sifatnya ringan hingga yang memerlukan rawat inap,” ungkap laporan tersebut.

Beragam Dampak Perubahan Iklim di Tengah Pandemi

Mengacu pada sebuah penelitian, laporan itu menyebut di Kanada ada temuan hubungan antara paparan panas rata-rata 28 derajat Celcius (empat hari paparan) dan jumlah pasien di rumah sakit. Sebagian besar mengalami gangguan suasana hati dan perilaku, termasuk skizofrenia dan gangguan neurotik.

Terdapat kaitan antara pandemi, perubahan iklim serta ekosistem keanekaragaman hayati. Tanpa ada langkah-langkah untuk melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati, perubahan iklim mengancam dan mengganggu keberlanjutan kehidupan.

Misalnya, situasi pandemi Covid-19 dan adanya kerusakan keanekaragaman hayati berpeluang zoonosis, atau penyakit menular yang berpindah dari hewan non-manusia ke manusia. Lebih parahnya bila menyebar di seluruh dunia. Dengan kata lain, peluang terjadinya situasi lain seperti pandemi Covid-19 tidak boleh diabaikan.

Tanpa Respon Tepat, Dampak Perubahan Iklim Lebih Buruk dari Pandemi Covid-19

Pakar lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa membenarkan, bahwa dampak-dampak perubahan iklim dalam laporan IPCC sangat nyata. Terlebih dengan adanya tantangan pandemi Covid-19.

Bahkan, ia menyebut bila tak ada respon dan tindakan aksi perubahan iklim, dampak perubahan iklim bisa lebih buruk dibanding pandemi Covid-19. Tantangan ini masih menjadi persoalan yang tak hanya Indonesia alami, tapi masyarakat negara-negara lainnya di dunia. Perlu aksi cepat untuk menjawab persoalan perubahan iklim.

Permasalahannya, sambung Mahawan keterlambatan tindakan atau aksi cepat karena kita berhadapan pada trade off. “Asumsinya dengan mengurangi emisi maka mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sehingga kalau ada pengurangan emisi seolah ada trade off. Padahal itu saving kita di masa depan,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Senin (14/3).

Misalnya, di masyarakat di Indonesia tak bisa melepas ketergantungan terhadap energi fosil yang PLN gunakan. Bila kemudian dalam jangka waktu setahun langsung berganti dengan energi baru terbarukan maka akan berimbas penuh pada investasi. Transisi ini bertahap dalam jangka waktu menengah dan panjang.

Sebaliknya, dalam konteks negara-negara di dunia, transisi menuju energi baru terbarukan ini juga dengan pertimbangan rasionalitas, tahapan dan proses yang berbeda-beda. Namun, sambung Mahawan karena terbentur trade off maka komitmen dan upaya ini harus mengalami keterlambatan. “Inilah kenapa PBB belum berhasil menangani ini,” ucapnya.

Dorongan Kuat Upaya Mencegah Kenaikan Suhu Tak Lebih dari 1,5 Derajat Celcius

Berdasarkan laporan The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), masih terdapat gap besar dari komitmen dunia pada tahun 2030 untuk menjaga suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat Celcius.

Komitmen tahun 2030 tak boleh menghasilkan emisi lebih dari 25 giga ton, tapi perkiraan laporan UNFCCC seluruh negara masih menghasilkan kurang lebih 40 giga ton. Jika berbasis long term strategi net zero emission tahun 2050 ketika semua negara dikumpulkan maka kurang lebih emisi pada tahun 2030 mencapai 30 giga ton.

Mahawan juga menyebut, kesenjangan dari emisi yang ada terlihat jelas dalam negara-negara maju. Mereka seharusnya berkomitmen penuh untuk mendorong suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat Celcius. Misalnya, Amerika menghasilkan lebih dari 20 ton CO2 e per kapita karena banyak bergantung pada energi fosil.

Sementara Indonesia, sambung Mahawan dibanding negara-negara berkembang lainnya masih relatif lebih baik karena telah memiliki dokumen dan aksi perubahan iklim yang nyata. Indonesia memiliki peran untuk mendorong negara-negara berkembang lainnya agar menurunkan emisi per kapita penduduk, setidaknya di bawah 3 ton per kapita.

“Negara-negara berkembang lainnya juga harusnya seperti Indonesia. Mempercepat perencanaan aksi-aksi di masing-masing negara. Tentu saja Indonesia bersedia untuk membantu negara berkembang lainnya,” pungkasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top