Emisi Tanpa Kendali, Kerugian Perubahan Iklim Bisa Capai Rp 544 Triliun

Reading time: 3 menit
Pengendalian emisi harus segera dilakukan untuk menekan laju perubahan iklim. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Ancaman krisis iklim semakin nyata di dunia dan juga Indonesia. Tanpa upaya pengendalian yang masif, kerugian akibat perubahan iklim perkiraannya mencapai Rp 544 triliun. Selain kerugian materiil, krisis iklim juga mengancam kesehatan manusia. Kejadian bencana juga semakin meningkat karena kemunculan cuaca ekstrem.

Indonesia saat ini sudah mempunyai Nationally Determined Contribution (NDC). Kerangka ini berisi upaya dan target yang Indonesia harus kebut untuk menekan emisi. Besarannya 26 % dengan usaha sendiri dan 41 % dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

Selain menekan emisi karbon dari sektor transportasi, upaya pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan menjadi bagian penting.

Perwakilan Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Irfan Darliazi Yananto mengatakan, potensi kerugian akibat perubahan iklim dapat mencapai Rp 544 triliun. Potensi kerugian perubahan iklim di empat sektor baik pesisir laut, air, pertanian dan kesehatan.

“Berdasarkan kajian analisis kami potensinya cukup besar sekitar Rp 544 triliun. Ini adalah gambaran kalau kita mencoba analisis kemungkinan potensi kerugian akibat dampak perubahan iklim di empat sektor tersebut,” katanya dalam webinar bertajuk Pembangunan Rendah Karbon, di Jakarta, Selasa (7/12).

Dalam rencana pembangunan nasional, Bappenas juga telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. RPJMN ini telah mengintegrasikan aspek lingkungan, perubahan iklim dan bencana alam. Di dalamnya juga telah mengusung Sustainable Development Goals (SDGs).

Irfan menambahkan, Bappenas dalam melakukan pembangunan rendah karbon juga fokus pada lima sektor. Fokus tersebut yakni limbah dan sirkular ekonomi sampai dengan pemulihan lahan berkelanjutan.

“Terkait dengan pembangunan rendah karbon sendiri, upaya menurunkan emisi ada di lima sektor terkait dengan limbah dan ekonomi sirkular, industri hijau, pembangunan energi berkelanjutan. Kemudian rendah karbon laut pesisir dan pemulihan lahan berkelanjutan,” ungkapnya.

Peningkatan bencana karena cuaca ekstrem menjadi peringatan menguatnya perubahan iklim. Foto: Shutterstock

Indonesia Perlu Mempercepat Pembangunan Rendah Emisi

Kepala Seksi Inventarisasi Gas Rumah Kaca Sektor Energi dan Industrial Process And Product Uses Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ratnasari mengungkapkan, inventarisasi perlu dilakukan sebagai salah satu upaya mengatasi emisi sehingga dapat menekan laju perubahan iklim.

“Maka kita melakukan inventarisasi gas rumah kaca dan kita mengenal ada lima sektor yaitu sektor kehutanan, pertanian, energi, perindustrian dan sampah. Dan yang memberikan kontribusi terbesar pengeluaran emisi sejauh ini adalah sektor kehutanan dan sektor energi karena kita masih menggunakan fosil fuel,” paparnya.

Setelah melakukan inventarisasi, maka selanjutnya adalah langkah mitigasi untuk menurunkan emisi. Ratnasari menyebut KLHK setiap tahunnya pada bulan Desember merilis laporan mengenai gas rumah kaca nasional. Melalui laporan tersebut, dapat diketahui kenaikan dan penurunan emisi.

“Kita juga telah melakukan pelaporan mengenai emisi masa pandemi yang sangat drastis turun adalah sektor transportasi. Kontribusi emisi dari sektor energi adalah akibat dari penggunaan yang dikeluarkan oleh transportasi. Karena itu kita harus mulai memikirkan gaya hidup kita harus diubah dan beralih ke kendaraan yang ramah lingkungan,” ungkapnya.

Inventarisasi gas rumah kaca ini juga sejalan dengan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang berisi tentang transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim.

Dorong Pembangunan yang Menekan Laju Perubahan Iklim

Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Hendricus Andy Simarmata mengatakan, dalam mengusung perencanaan pembangunan yang peduli terhadap perubahan iklim memerlukan standar ukuran yang jelas. Salah satunya dalam mengukur kota yang peduli terhadap perubahan iklim.

“Kalau kebanyakan standar juga nanti pemerintah kota bingung dalam mengeksekusinya,” imbuhnya.

Terkadang pemerintah daerah masih kebingungan dalam mengimplementasi amanat dari pemerintah pusat seperti rencana pembangunan. Ia menyebut dalam rencana tersebut harus sudah memuat pemgendalian perubahan iklim dan pembangunan yang berkelanjutan.

Penulis : Fitri Annisa

Top