Tersisa Dua Ekor, Indonesia Harus Lindungi Badak Pahu dari Kepunahan

Reading time: 2 menit
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol tegaskan aksi nyata penting untuk selamatkan badak pahu dan pesut mahakam yang terancam punah. Foto: Dini Jembar Wardani
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol tegaskan aksi nyata penting untuk selamatkan badak pahu dan pesut mahakam yang terancam punah. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan perlunya aksi nyata untuk menyelamatkan badak pahu dan pesut mahakam yang terancam punah. Menurutnya, perlindungan keanekaragaman hayati harus didukung aksi yang konkret, bukan sekadar regulasi.

“Di Kalimantan Timur, kita juga melihat badak pahu yang hanya dua ekor. Satu ekor telah kita amankan, satu ekor masih ada di alam, di hutan Kalimantan Timur. Β Perlu upaya serius untuk segera menyelamatkan ini, karena secara data spesies hutan, badak pahu ini hanya tinggal dua di muka bumi ini,” kata Hanif dalam pidato peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia di Jakarta, Kamis (22/5).

Hal serupa juga terjadi pada pesut mahakam, spesies endemik yang hanya ada di Sungai Mahakam. Aktivitas industri dan lalu-lalang tongkang pengangkut hasil bumi Kalimantan Timur menjadi ancaman besar.

BACA JUGA: 10 Negara Dengan Wilayah Hutan Lindung Terbanyak

“Harus segera ada langkah-langkah penyelamatan terhadap pesut mahakam. Ini adalah bentuk konkret aksi yang bisa kita mulai hari ini,” tambahnya.

Menurutnya, melalui kerja sama antar lembaga, masyarakat, mitra pembangunan, dan negara, saat ini sudah wajib menyusun strategi bersama demi menjaga 22 tipe ekosistem yang ada di Indonesia. “Semua ini memerlukan perhatian dan keseriusan luar biasa dari kita semua,” ujarnya.

Apalagi, penurunan keanekaragaman hayati juga menjadi bagian dari triple planetary crisis, bersama dengan perubahan iklim dan polusi. Maka dari itu, peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia harus menjadi pengingat bahwa segala rencana dan niat baik perlu tindak lanjut dengan aksi nyata.

Refleksi Diri di Hari Keanekaragaman Hayati

Dari 22 tipe ekosistem yang tersebar dari daratan hingga lautan mengandung spesies dan keragaman genetin yang punya peran penting dalam kehidupan. Mereka menyimpan kekayaan manfaat yang luar biasa, mulai dari sumber pangan, obat-obatan, energi, hingga simpanan air dan karbon.

“Keanekaragaman hayati inilah yang menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan besar, seperti perubahan iklim dan pandemi global,” ujar Hanif.

Baginya, nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati adalah aset bangsa yang tak ternilai. Dalam visi pembangunan nasional, ketahanan pangan sangat bergantung pada kelestarian hayati ini. Bahkan, keanekaragaman hayati dapat menjadi penopang dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang kian tidak menentu.

“Sudah saatnya kita melakukan refleksi. Apakah kebijakan yang telah kita miliki saat ini benar-benar menjawab permasalahan tersebut? Apakah aksi-aksi kita telah benar-benar mampu menyelamatkan keanekaragaman hayati? Di tataran lanskap dan ruang wilayah, tata ruang memegang peran penting,” ucapnya.

BACA JUGA: Hari Lingkungan Hidup: Jadikan Keanekaragaman Hayati Pilar Pembangunan

Menurut Hanif, perlu untuk segera memberlakukan penetapan fungsi lindung dan aturan zonasi, baik di darat maupun laut, di zona inti maupun penyangga, termasuk daerah koridor satwa dan kawasan konservasi lainnya. Selain itu, perlu segera menyiapkan instrumen hukum agar tidak menimbulkan persoalan berlarut-larut dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.

“Kita telah memiliki banyak regulasi, salah satunya adalah penetapan kawasan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value (HCV). Sayangnya, penetapan ini masih belum diikuti dengan upaya nyata dan pengelolaan yang serius.

Hanif menegaskan praktik pengelolaan HCV di lapangan masih sangat lemah. Bahkan, tidak ada manajemen yang menjalankan pengelolaan HCV secara nyata. Dengan demikian, hal ini perlu dipikirkan secara cermat serta langkah-langkah progresif juga penting untuk menyelamatkan megafauna di Indonesia.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top