Walhi Kritik Pidato Jokowi di World Water Forum ke-10

Reading time: 3 menit
Walhi mengkritik pidato Jokowi di World Water Forum ke-10 di Bali. Foto: Rusman-Biro Pers Sekretariat Presiden
Walhi mengkritik pidato Jokowi di World Water Forum ke-10 di Bali. Foto: Rusman-Biro Pers Sekretariat Presiden

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyampaikan kritik keras terhadap pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada World Water Forum ke-10 di Bali. Menurut Walhi, apa yang Jokowi sampaikan dalam pidato tersebut justru bertolak belakang dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Dalam pidatonya, Jokowi menggarisbawahi bahwa dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah memperkuat infrastruktur airnya dengan membangun 42 bendungan, 1,18 juta hektar jaringan irigasi, dan 2.156 kilometer pengendali banjir dan pengamanan pantai. Kemudian, Jokowi menyebut bahwa Indonesia telah merehabilitasi 4,3 juta hektare jaringan irigasi.

Selain itu, menurut Jokowi, Indonesia mendorong tiga hal secara konsisten. Pertama, meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusivitas untuk mencapai solusi bersama, terutama bagi negara-negara pulau kecil serta yang mengalami kelangkaan air. Kedua, memberdayakan hydro-diplomacy untuk kerja sama konkret dan inovatif, menjauhi persaingan dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas. Ketiga, memperkuat political leadership sebagai kunci sukses berbagai kerja sama menuju ketahanan air berkelanjutan.

BACA JUGA: Kearifan Bali Sejalan dengan Semangat World Water Forum ke-10

“Walhi menyatakan bahwa beragam pernyataan Jokowi dalam pidato itu adalah pidato as usual sebagaimana yang sering disampaikan dalam berbagai forum internasional,” ujar Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil Walhi Nasional, Parid Ridwanuddin lewat keterangan tertulisnya, Senin (20/5).

Salah satu persoalan serius dari pidato Jokowi adalah satu-satunya solusi pemerintah untuk mengatasi krisis air di Indonesia hanya dengan membangun infrastruktur skala besar. Padahal, lanjut Parid, pembangunan infrastruktur, seperti bendungan dan pengaman pantai belum terlepas dari konflik.

“Di dalamnya banyak terjadi kekerasan, penggusuran tanah, sekaligus penghancuran lingkungan, alih-alih menyelesaikan persoalan krisis air,” tambah Parid.

Walhi mengkritik pidato Jokowi di World Water Forum ke-10 di Bali. Foto: Walhi Sulawesi Selatan

Walhi mengkritik pidato Jokowi di World Water Forum ke-10 di Bali. Foto: Walhi Sulawesi Selatan

Gagal Atasi Krisis Air

Parid mencontohkan kasus bendungan di Desa Wadas, Kecamatan Purworejo, Jawa Tengah yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Pemerintah mengklaim bahwa bendungan tersebut akan mengaliri 15.519 hektare lahan dan menjadi sumber pemenuhan air baku bagi masyarakat di Purworejo dan Kulonprogo.

Pemerintah juga mengklaim bendungan tersebut akan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar melalui pengembangan pariwisatanya. Faktanya, bendungan tersebut justru merusak lingkungan dan sumber daya air akibat pertambangan batu andesit. Bahkan, sebanyak 64 orang ditahan karena menolak pertambangan batu andesit tersebut.

“Dengan demikian, solusi-solusi yang hanya bersifat teknis dalam bentuk infrastruktur dan betonisasi seperti klaim Jokowi di Forum Air Dunia gagal sejak awal dalam menyelesaikan krisis air,” ujar Parid.

Pulau Kecil Krisis Air

Walhi juga mengkritik keras pidato Jokowi yang mengajak dunia internasional untuk meningkatkan solidaritas dan inklusivitas guna mencapai solusi bersama, terutama bagi negara-negara pulau kecil serta yang mengalami kelangkaan air.

“Pernyataan tersebut penuh hipokrisi untuk menutupi kiamat air di pulau-pulau kecil di Indonesia yang mengalami krisis air akibat ekspansi pertambangan nikel akibat ambisi hilirisasi untuk melayani industri otomotif mobil listrik. Pada titik ini, pernyataan Jokowi tidak menggambarkan Indonesia sebagai leading by example kepada dunia internasional,” ujar Parid.

BACA JUGA: Indonesia Kenalkan Citarum Harum di World Water Forum ke-10

Sampai tahun 2024, tercatat sebanyak 218 izin usaha pertambangan (IUP) mengapling 34 pulau-pulau kecil di berbagai wilayah di Indonesia. Di antara pulau kecil yang mengalami kiamat air akibat pertambangan adalah Pulau Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di pulau kecil ini terdapat satu Penanaman Modal Asing (PMA). Kemudian, lima Penanaman Modal Dalam Negeri dengan status izin usaha pertambangan (IUP).

Akibat pertambangan nikel, banyak mata air terancam hancur. Bahkan, kualitas dan kuantitas air yang warga gunakan setiap hari hancur. Saat hujan turun, air yang mengalir ke rumah warga berubah menjadi warna cokelat dan penuh dengan lumpur.

“Dampaknya, warga harus mengeluarkan biaya lebih mahal untuk membeli air. Atas dasar itu, warga menempuh langkah hukum dan menggugat sampai ke Mahkamah Agung,” imbuh Parid.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top