Bagi masyarakat Indonesia, banteng atau tembadau adalah satwa yang sangat penting. Selain sebagai fauna endemik, kepala dari hewan ini bahkan jadi salah satu lambang dari ideologi negara kita.
Bukan cuma itu, tak banyak yang mengetahui jika nama ‘Banteng’ sendiri berasal dari aksara Jawa, yaitu Banthèng. Serapan dari bahasa ini lantas jadi nama umum dari spesies tersebut di seluruh dunia.
Selain Bos javanicus (nama ilmiah banteng Jawa), setidaknya ada empat spesies lain yang tersebar di berbagai benua seperti Bos mutus, Bos souveli, Bos primigenius serta Bos gaurus.
Spesies Bos primigenius atau Auroch sendiri diketahui sudah punah, sedang Bos gaurus merupakan jenis tembadau yang kerap diikutsertakan dalam tradisi adu banteng di negara Spanyol.
Habitat, Pesebaran dan Populasi
Di habitat aslinya, banteng tergolong sebagai hewan liar yang banyak hidup di daerah Kamboja, Pulau Jawa, Pulau Kalimatan, Thailand hingga kawasan Sabah di Malaysia.
Selain itu, satwa yang satu ini juga kerap warga manfaatkan sebagai hewan ternak, seperti di kawasan Bali, Sulawesi, Sumbawa, Sumba, Australia, Malaysia dan Papua Nugini.
Tembadau ternak di Pulau Dewata awam kenal sebagai Sapi Bali, populasi hewan ini terbilang sangat banyak karena mencapai 25% dari total populasi sapi yang ada di Indonesia.
Sayangnya, hal tersebut berbanding terbalik dengan keberadaannya di alam liar. Menurut Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, jumlah banteng yang ada di tanah air terus menurun tiap tahunnya.
Pada 2013, jumlah hewan tersebut tercatat mencapai 50 ekor. Sedangkan pada 2014 angkanya berkurang menjadi 47 ekor; tahun 2015 menjadi 39 ekor; dan di tahun 2016 tersisa 22 ekor saja.
IUCN Redlist bahkan mengkategorikan spesies Bos javanicus sebagai fauna konservasi ‘Endangered’ atau terancam punah, yang perlu dilindungi serta dilestarikan.
Morfologi dan Ciri-Ciri Tembadau
Banteng merupakan hewan yang besar, tegap dan kuat. Bahu depannya lebih tinggi daripada bagian belakang, serta memiliki ciri khas adanya sepasang tanduk di bagian kepalanya.
Pada tembadau jantan dewasa, tanduknya berwarna hitam mengilap, runcing dan melengkung ke arah depan, sedang betina dewasa memiliki tanduk lebih kecil serta melengkung ke belakang.
Di bagian tengah dadanya, terdapat sebuah gelambir (dewlap) yang memanjang dari pangkal kaki hingga ke bagian leher (tidak mencapai area kerongkongan).
Menurut berbagai sumber, berat fauna yang satu ini bisa mencapai 900 kg dengan tinggi bahu berkisar 170 cm. Namun ukuran tinggi bahu sebenarnya cukup beragam, tergantung dari usia hewan tersebut.
Misalnya, tinggi bahu tembadau jantan usia 8-10 tahun bisa mencapai 170 cm, sedang banteng betina (pada usia yang sama) hanya berkisar 150 cm saja.
Pada bagian pantat, hewan besar ini bisa kita kenali dengan ciri khas corak belanga yang putih. Bagian kakinya juga tampak seperti memakai kaos kaki, begitu pula dengan bagian bibir yang berwarna putih.
Salah satu perbedaan terbesar antara banteng jantan dan betina adalah warna bulunya. Kelompok pejantan biasanya punya bulu berwana hitam, sedang betinanya memiliki warna coklat kemerahan.
Sifat Banteng di Habitat Aslinya
Tak banyak yang mengetahui jika banteng memiliki sifat pengembara. Hewan ini suka melaksanakan perjalanan jauh sambil mencari rumput, buah-buahan hingga ranting muda sebagai bahan panganan.
Bukan cuma itu, satwa bertubuh kekar ini juga terkenal sangat senang berkumpul dan berkelompok. Pada saat berkumpul, jumlah kawanannya bisa mencapai 10-12 ekor per kelompoknya.
Anggota kelompok pada kawanan tembadau terbilang bervariasi, biasanya terdiri dari pejantan dewasa, induk, anak-anaknya, serta beberapa tembadau jantan muda (2-5 ekor).
Selain sebagai pengawal kawanan, tembadau jantan muda inilah yang nantinya akan menggantikan ketua kelompok. Oleh sebab itu, perannya terhadap kawanan terbilang cukup penting.
Kendati demikian, pergantian ketua kelompok tak selamanya berujung damai. Dalam prosesnya, penentuan pimpinan baru ini kerap memancing perkelahian antar anggota regu.
Bahkan, tak jarang calon ketua yang kalah lalu memisahkan diri dari kelompok sebelumnya (terkadang betinanya mengikuti), kemudian membentuk koloni tembadau yang baru.
Uniknya, banteng yang sudah tua dan mendekati ajalnya akan memisahkan diri, serta menjadi banteng soliter. Kelompok hewan tertua inilah yang kerap menjadi mangsa empuk bagi predator di alam liar.
Fakta-Fakta Menarik terkait Banteng Jawa
Faktanya, meski berbadan kekar ternyata banteng tidak tahan lho, jika terpapar terik matahari dalam waktu lama. Selain fakta tersebut, terdapat fakta unik lain yang menarik untuk diketahui, seperti:
-
Punya Penciuman dan Pendengaran Tajam
Menurut laporan Balai Taman Nasional Baluran (tahun 2006), tembadau merupakan satwa yang mempunyai daya penciuman serta pendengaran yang cukup tajam.
Salah satu buktinya adalah pada saat makan hewan tersebut kerap kali mengangkat kepalanya sambil mengibas-ibaskan telinga, untuk mendengar apakah ada bahaya yang mengintai di sekitar mereka.
Jika ditemukan adanya tanda-tanda predator, maka hewan pertama yang mengetahui hal tersebut akan segera menghadap ke sumber bahaya sambil memberi isyarat kepada kawanan lainnya.
-
Cara Menyelamatkan Diri yang Terstruktur
Cara menyelamatkan diri fauna ini juga sangat terstruktur. Setelah mendapat sinyal bahaya, kelompok tembadau muda dan betina akan masuk ke dalam hutan, lalu diikuti dengan pejantan dewasa.
Sebenarnya, banteng sendiri lebih menyukai daerah yang luas dan tidak ada gangguan alami. Sehingga meski berbadan besar dan kuat, namun hewan ini tidak akan menyerang jika tidak merasa terancam.
-
Tembadau adalah Hewan yang Buta Warna
Kita tentu sudah sangat familiar dengan cerita banteng dan kain merah matador. Berdasarkan kisah tersebut, banyak masyarakat yang berasumsi jika tembadau sangat membenci warna merah.
Nyatanya bukan warna merah yang membuat hewan tersebut mengejar muleta, tetapi pergerakan kainnya. Tembadau sendiri cukup sensitif terhadap pergerakan, apalagi jika dilakukan secara tiba-tiba.
Perlu diketahui, menurut beberapa penelitian fauna mamalia ini tergolong hewan yang buta warna. Sehingga, asumsi terhadap banteng yang membenci warna merah agaknya terpatahkan.
Taksonomi Banteng Jawa
Referensi:
Yayat Rukhiyat dalam Banteng Bioekologi dan Konservasi di Indonesia
Penulis: Yuhan Al Khairi, Sarah R. Megumi