Biawak, Predator Oportunistik Khas Indonesia

Reading time: 3 menit
predator
Biawak (famili Varanidae). Foto: pixabay.com

Biawak (famili Varanidae) adalah kadal yang dianggap sebagai salah satu jenis kadal terbesar di dunia. Sebanyak 53 spesies teridentifikasi di seluruh dunia. Adapun, lebih dari 40% seluruh jenis biawak di dunia terdapat di wilayah Indonesia dan sisanya ditemukan di Asia, Amerika, Australia juga Afrika.

Biawak termasuk kedalam fauna tipe peralihan yang penyebarannya hampir di seluruh Indonesia, mulai dari wilayah Indonesia bagian barat hingga ke wilayah Indonesia bagian timur. Biawak berasal dari kata Arab ‘waran’ yang berarti monitor.

Secara bentuk fisik, biawak dapat mengangkat dirinya secara vertikal dengan menopang pada kedua kaki belakang dan ekornya sehingga memiliki pandangan yang lebih jelas dan tinggi dari sekitarnya. Berdasarkan indikator tersebut maka penamaannya dalam bahasa Inggris yaitu ‘monitor lizard’ (Pianka et al, 2004; Parameswari, 2012). Di Indonesia, penamaan biawak memiliki panggilan tersendiri, seperti bayawak (Sunda), menyawak atau nyambik (Jawa), berekai (Madura), dan dalam bahasa Nias disebut boroe.

Uniknya lagi penamaan biawak dipakai sebagai nama salah satu pulau di wilayah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yaitu Pulau Biawak. Keunikan dari Pulau Biawak ini ialah adanya spesies biawak air Asia (Varanus salvator) yang paling banyak penyebarannya meliputi wilayah Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Spesies ini memiliki panjang tubuh sekitar satu hingga 2,5 meter.

Berdasarkan tulisan dari penelitian Parameswari (2012), biawak adalah predator oportunistik sehingga dapat mengubah pola pakannya berdasarkan ketersediaan pakan di habitatnya.

Pada biawak jantan terdapat sepasang hemipenis yang berbentuk seperti kantung, terletak di pangkal ekor dan menimbulkan tonjolan pada bagian ventral ekor. Sedangkan pada biawak betina memiliki sepasang oviduk dan ovarium. Ovarium terletak pada posisi yang sama dengan testis pada biawak jantan yaitu di dorsomedial rongga abdomen.

Faktor penentu utama kematangan seksual pada biawak adalah ukuran tubuh. Usia dianggap tidak terlalu berpengaruh pada kematangan seksual karena berbeda antara biawak di alam liar dan penangkaran. Usia kematangan seksual biawak di alam liar berkisar antara 3-4 tahun, sedangkan usia kematangan seksual biawak di penangkaran tidak dapat ditentukan karena dipengaruhi oleh perawatan dan pakan yang berbeda.

Musim kawin pada biawak ditentukan oleh suhu, hujan dan ketersediaan pakan. Biawak jantan akan menjadi agresif dan menjaga teritorial ketika musim kawin. Frekuensi reproduksi biawak tergantung pada kondisi lingkungan dan nutrisi biawak tersebut. Biawak bersifat ovipar dan dapat menghasilkan telur lebih dari satu kali dalam setahun.

Kelangsungan hidup biawak dapat terganggu akibat degradasi lingkungan, polusi, dan ulah manusia. Di beberapa daerah, biawak diolah dagingnya menjadi bermacam-macam hidangan. Konsumen daging biawak meningkat karena daging biawak dipercaya dapat bertindak sebagai aphrodisiac dan memiliki khasiat untuk mengobati gatal, menghaluskan kulit, mengobati luka bakar, dan mengencangkan payudara.

Disisi lain, biawak merupakan karnivora utama sehingga rentan terhadap polutan dan toksin lingkungan yang dapat mengakibatkan penyakit dan mutasi genetik. Biawak yang memakan amfibi, serangga, atau mamalia yang terkena polutan lingkungan dapat mengalami mutasi genetik sehingga menurunkan kemampuannya untuk bertahan hidup.

Kerusakan habitat akibat penebangan pohon dan pembangunan perumahan atau kawasan komersial juga telah menurunkan populasinya di alam. Perburuan untuk mendapatkan kulit dan dagingnya telah mengurangi populasi fauna ini hingga ke ambang kepunahan.

Populasinya menurun drastis akibat meningkatnya perdagangan biawak sebagai hewan peliharaan eksotik yang telah meningkat sejak tahun 1990-an, dan biawak merupakan komoditi mahal dalam perdagangan karena fauna ini secara umum jinak, mudah dilatih, dan memiliki rentang hidup yang panjang (Travis 2011; Parameswari, 2012).

Semua spesies dan subspesies dari biawak termasuk dalam CITES Appendix II, kecuali Varanus bengalensis, Varanus flavescens, Varanus griseus, Varanus komodoensis, dan Varanus nebulosis termasuk dalam Appendix I (Ananjeva et al. 2006). Spesies yang termasuk dalam Appendix I adalah spesies terancam punah yang dipengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh perdagangan satwa liar. Spesies yang termasuk dalam Appendix II adalah spesies yang belum terancam punah namun dapat terancam punah bila perdagangan spesies tersebut tidak diatur dan diawasi secara ketat.

predator

Penulis: Sarah R. Megumi

Top