Secara ilmiah cacing merupakan hewan tidak bertulang belakang (invertebrate) yang hidup di dalam tanah. Tubuh hewan ini tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus). Setiap segmen memiliki beberapa pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak.
Cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik untuk biota tanah, hewan maupun manusia. Hewan ini berevolusi menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Cacing tanah berguna untuk menyuburkan tanah dan dapat dijadikan pakan hewan ternak. Dalam dunia kesehatan cacing ini memiliki potensi untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti stroke, mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung (ischemic) dan tekanan darah tinggi. Senyawa aktif cacing tanah mampu melumpuhkan bakteri patogen, khususnya Eschericia coli penyebab diare.
Cacing tanah yang tersebar di seluruh dunia berjumlah sekitar 1.800 spesies. Cacing tanah yang terdapat di Indonesia tergolong ke dalam famili Enchytraeidae, Glassocolicidae, Lumbricidae, Moniligastridae, Megascolicidae. Genus yang pernah ditemukan ialah Enchytraeus, Fridericia, Drawida, Dichogaster, Eudichaster, Pontoscolex, Pheretima, Megascolex, Perionyx dan Allolobophora.
Dari hasil penelitian Sudarmi (1999) diketahui tiga spesies cacing tanah yang karakteristik hidupnya berasal dari tumpukan sampah organik pasar yaitu spesies Megascolex sp, Peryonix sp dan Drawida sp. Cacing jenis ini mempunyai ukuran panjang bervariasi, berkisar antara beberapa milimeter hingga 15 cm bahkan lebih.
Cacing tanah bersifat hemaphrodit (berkelamin ganda). Populasi hewan ini sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan yang ada. Faktor-faktor ekologis yang memengaruhi makhluk tanah antara lain keasaman (pH), temperatur, aerasi dan CO2, bahan organik, suplai dan nutrisi. Cacing tanah umumnya memakan serasah (sampah) daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati. Kemampuan hewan ini dalam mengonsumsi serasah tergantung pada ketersediaan jenis serasah yang disukainya, juga kandungan karbon dan nitrogen serasah.
Pada tahun 2015 lalu, terjadi fenomena dimana banyak cacing keluar dari tanah saat terjadi gempa di Kabupaten Bantul. Fenomena tersebut langsung dianggap sebagai tanda-tanda terjadinya gempa. Namun menurut pakar kegempaan, kejadian keluarnya cacing ke permukaan tanah pada gempa Bantul tahun 2015 dikarenakan pergantian musim. Musim yang telah memasuki kemarau namun masih berpotensi hujan dapat menyebabkan suhu di dalam tanah lebih tinggi dari permukaan. Hal tersebut yang memicu cacing muncul ke permukaan.
Penulis: Sarah R. Megumi