Siput Lola, Penghasil Kancing yang Tereksploitasi

Reading time: 2 menit
siput lola
Siput lola (Trochus niloticus). Foto: Ist.

Moluska (keong laut, kerang-kerangan dan cumi-cumi) merupakan kelompok biota perairan laut Indonesia yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi. Spesies moluska banyak hidup di daerah ekosistem karang, mangrove dan padang lamun.

Lola atau siput lola atau bisa disebut siput susu bundar (Trochus niloticus) merupakan salah satu jenis moluska berukuran besar dari kelas gastropoda yang hidup di rataan terumbu dan dipengaruhi pasang surut air laut. Lola merupakan gastropoda primitif yang memiliki dua insang, dua auricula dan dua nephridia. Lola hidup sebagai pengeruk alga (grazer) yang menempel pada karang-karang mati.

Cangkang lola berbentuk kerucut dengan 10 sampai 12 buah ulir (suture). Panjang cangkang bervariasi antara 50 mm dan 165 mm, diameternya antara 100 mm dan 120 mm. Cangkangnya berwarna dasar krem keputihan dengan corak bergaris merah lembayung, sementara dasar cangkang berbintik merah muda. Hewan ini mempunyai penutup cangkang yang disebut operculum atau epiphragma.

Lola dapat hidup sampai 15 tahun dan mampu berproduksi setelah umur dua tahun. Siput lola merupakan hewan diesius (kelamin terpisah), dan masing-masing individu memiliki kelamin tunggal. Pada betina lola, mereka dapat melepaskan lebih dari satu juta telur, lho!

Lola adalah jenis moluska komersial yang diperdagangkan di Maluku Tengah sejak tahun 1950-an. Negara konsumen utama jenis ini adalah Jepang, diikuti oleh Korea dan negara-negara Eropa. Selain dagingnya dikonsumsi oleh masyarakat, cangkangnya digunakan dalam industri kancing, industri cat dan kerajinan tangan. Berdasarkan hasil penelitian oleh pakar peneliti oseanografi LIPI Bapak Zainil Arifin, Jepang memiliki sejarah panjang dalam memanfaatkan siput lola untuk industri kancing dan kerajinan. Cangkang lola kemudian diekspor ke Jepang, Singapura, Taiwan, Hongkong dan Italia.

Penduduk lokal di Maluku dan beberapa tempat di Papua pernah memanen jenis ini secara massif sehingga menjadi punah di beberapa tempat. Nelayan lokal di Pulau Banda pada tahun 1950-an dapat memanen sekitar 50 ton setahun, namun pada tahun 1992 mereka hanya memanen sekitar 1,5 ton. Penurunan yang tajam ini disebabkan oleh eksploitasi berlebihan terhadap jenis ini.

Meski demikian, di beberapa daerah seperti di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, terdapat upacara adat yang menggunakan siput lola. Pengambilan lola secara adat/sistem tradisional ini dinamakan ‘sasi lola’. Sasi dimaksudkan agar terjadi regenerasi dari biota-biota laut yang sering dikonsumsi oleh warga desa sehingga kapasitas penangkapannya bisa terjaga.

Lola yang dipanen berdasarkan sistem sasi perlu mempertimbangkan waktu panen yang tepat, dengan memperhatikan puncak waktu pemijahan dan ukuran lola. Lola menjadi dewasa kelamin pada ukuran 40-50 mm, dan ukuran optimum yang direkomendasikan untuk panen sebaiknya 75 mm, ketika kulit lola mencapai umur sekitar dua tahun.

Perlindungan dan pelarangan perdagangan biota lola telah ada sejak Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/KPTS II/1987. Meskipun lola merupakan biota yang dilindungi, akan tetapi perdagangan ilegal satwa laut ini masih terus berlangsung.

siput lola

Penulis: Sarah R. Megumi

Top