Opera Ine Aya’, Simbol Kekuatan Masyarakat Adat Menjaga Hutan

Reading time: 2 menit
Pementasan opera Ine Aya' di TIM, Jakarta. Foto: Greeners/Ramadani Wahyu

Jakarta (Greeners) – Setelah pementasan pertama kali di Desa Datah Diaan pada (19/8) di Pontianak Convention Center, Opera Ine Aya’ Suara Samar Rimba tampil di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (27/8) malam. Pementasan kolaborasi Balaan Tuman Ensemble bersama World Opera Lab ini menceritakan tentang deforestasi atau pembalakan hutan di Kalimantan. Opera dengan balutan musikal ini mengisahkan pohon kehidupan dan penjaganya, Ine Aya’.

Pertunjukan opera ini berakar dari epos Takna’ Lawe dan opera Eropa Ring des Nibelungen dengan elemen eksplorasi musik kebudayaan Kayan. Opera Ine Aya’ ini pentas pertama kali di Holland Festival tahun 2021.

Komponis Nursalim Yadi Anugerah menyatakan, Kalimantan Barat memiliki keragaman budaya, di antaranya ratusan sub suku. Pemilihan epos Takna’ Lawe dari kebudayaan Kayan tak lain karena masih kuat dan kentalnya masyarakat adat dalam menjaga hutan mereka. Kawasan Kapuas Hulu berada di area taman nasional dan masyarakat adat sangat kuat mempertahankan potensi alam dan hutan tersebut.

“Bagi saya ini tak sekadar gerakan atau advokasi, tapi sangat menarik diamplifikasi dalam bentuk karya seni,” katanya dalam Sabtu Pagi Bahas Aksi bersama Greeners, Sabtu (27/8).

‘Takna’ merupakan syair berbentuk epos yang sangat panjang. Sedangkan ‘Lawe’ adalah tokoh heroik di alam. Sosok nenek moyang masyarakat Dayak yang menjadi tokoh sentral di dalamnya dan memuat pengetahuan serta nilai-nilai masyarakat. Seperti halnya dengan epos Ramayana, Takna’ Lawe berisi sastra lisan yang sangat panjang.

Cerita Turun Temurun Selama Berabad-Abad

Yadi menyebut, berangkat dari satu bagian cerita di dalamnya, pementasan Ine-Aya’ mencoba menghidupkan kembali kakek yang terjebak dalam pohon. Cerita ini telah diturunkan secara turun temurun selama berabad-abad.

Masyarakat Kalimantan memiliki penghormatan tersendiri terhadap pohon kehidupan sebagai simbol alam Kalimantan. Orang Kayan menyebut pohon ini Kayo’ Aya’. Kebudayaan Utara Eropa menyebutnya dengan Yggdrasil. Ine Aya’ adalah dewi Kayan yang melindungi pohon kehidupan ini, hingga Tuhan datang dari Barat; Wotan.

Wotan ingin memiliki pengetahuan dan kekuatan sang pohon. Ine Aya’ menghukum Wotan dan membuat ranting dan batang pohon merambati dia, hingga ia terpenjara.

Karena ia berusaha untuk terus berontak, lama-kelamaan pohon itu mati. Generasi muda berusaha melindungi sang pohon dari serangan dunia luar.

Musik menambah keunikan dan pesan mendalam dari opera Ine Aya’. Foto: Greeners/Ramadani Wahyu

Opera Bangun Kepedulian Lestarikan Hutan

Yadi menyatakan, poin terpenting dari pertunjukan opera ini ingin membangun kesadaran kembali terkait permasalahan lingkungan yang mereka bungkus dalam seni.

“Permasalahan lingkungan bukan sekadar pohon ditebang tapi lebih sistemik dan semuanya saling tumpang tindih, itulah kenapa kita harus berkolaborasi,” kata dia.

Seni, utamanya musik berperan penting dalam menghidupkan dan memobilisasi masyarakat untuk membangun kesadaran, termasuk dalam permasalahan lingkungan yang ada. Sebagai masyarakat lokal, sambung Yadi masyarakat Kalimantan merupakan garda terdepan untuk lebih serius menyikapi permasalahan lingkungan yang ada dan menjaga hutan. Terutama mendekati pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di wilayahnya.

“Itu artinya kita bukan sekadar pentas, tapi kita melibatkan kerja sama dengan masyarakat untuk saling bertalian agar bisa sustainable menyuarakan isu ini ke permukaan. Pembangunan kesadaran dalam semua lapisan masyarakat sangat penting,” imbuhnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top