Akulturasi Kearifan Lokal Hingga Pembagian Bibit Tanaman di “Wayang Rokenrol”

Reading time: 2 menit
Samuel Indratmo. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Tanggal satu bulan Suro merupakan tahun baru dalam kalender Jawa dan bertepatan dengan satu Muharram dalam penanggalan Hijriah. Satu Suro sendiri memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa karena pada tanggal tersebut dianggap sebagai sebuah hari yang kramat, terlebih bila jatuh pada Jumat Legi.

Saat Malam Satu Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Selain itu, Malam Satu Suro juga menjadi sebuah momen khusus yang dalam kebudayaan Jawa tradisional selalu diisi dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang digelar di tempat lapang atau balai desa.

Lantas, bagaimana jika dalam menyambut Malam Satu Suro tersebut, pertunjukan wayang digelar di sebuah cafe bertema Rock ‘n Roll?

Konsep yang tidak biasa ini digarap Awanama Art Habitat dan Folks Mataraman Institute. Hasilnya, sebuah pagelaran “Wayang Rokenrol” yang menggabungkan seni visual dan musik yang dilebur dan dikomposisikan secara apik dalam sebuah seni pertunjukan.

Salah seorang dalang dan penggagas pagelaran ini, Samuel Indratmo, menjelaskan, bahwa “Wayang Rokenrol” adalah sebuah pertunjukan wayang kontemporer yang diadakan dalam rangka menyambut Malam Satu Suro. Tujuannya, untuk memaknai kembali kegiatan kebudayaan wayang kulit dalam semangat kekinian.

“Jadi, judulnya itu Hamenangi Jaman Mletho yang artinya kehidupan ini sudah semakin tidak karuan,” jelas pria yang akrab dipanggil Sam ini saat berbincang ringan dengan Greeners di Rolling Stone Cafe, Jakarta, Jumat (24/10).

Beberapa mahasiswa dari Sanata Dharma Yogyakarta yang turut terlibat dalam "Wayang Rokenrol". Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Beberapa mahasiswa dari Sanata Dharma Yogyakarta yang turut terlibat dalam “Wayang Rokenrol”. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Sam mengutarakan kalau semakin hari negara ini sudah sangat tidak jelas (mletho), maka masyarakatnya juga jangan terlalu serius. Menurutnya, ketika zaman sudah tidak karuan, masyarakatnya juga harus tidak karuan pula.

“Tapi tidak karuannya bukan sembarangan, tapi dalam konteks bagaimana mencapai sebuah refleksi yang membangun,” imbuhnya.

Selain pertunjukan wayang, dalam pagelaran ini juga dibagikan berbagai macam bibit pohon kepada pengunjung. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Peneliti Konservasi Pusat Studi Lingkungan Sanata Dharma, Setia Budiawan, menerangkan bahwa Sanata Dharma dalam pagelaran ini membawa sekitar 2000 bibit tanaman hasil dari pembibitan di Sanata Dharma Yogyakarta dengan tujuan untuk memberikan penghasil oksigen bagi Ibukota Jakarta.

“Ini hasil dari mahasiswa baru Sanata Dharma yang memunguti biji-bijian yang ada di seputar kampus kemudian dibibitkan. Ini ada bibit tunjung, saputangan dan meranti,” ungkap Setia.

Sebagai informasi, perhelatan “Wayang Rokenrol” ini juga diisi dengan live painting oleh seniman-seniman kontemporer serta disemarakkan mini bazaar produk-produk lokal. Di barisan seniman visual hadir nama-nama besar, seperti Nasirun, Djoko Pekik, Putu Sutawijaya, Samuel Indratma, Yuswantoro Adi, Bambang Herras, dan Ampun Sutrisno.

Tak ketinggalan, hadir pula musisi Endy Baroque, Hasnan Hasibuan, Bagus Mazasupa, Teguh Jos, Akbar Wicaksono, dan Be Ge, serta dilengkapi penampilan spesial dari Young de Brock, Danilla, Sri Krishna dan Red Dot.

(G09)

Top