Burung Air, Bertahan di Tengah Kerasnya Cengkraman Aktivitas Manusia

Reading time: 4 menit
Aktivitas burung air terekam kamera komunitas JBS saat survei burung air di Teluk Jakarta. Foto: Ady Kristanto

Jakarta (Greeners) – Semarak kicauan burung air dari balik hutan mangrove Teluk Jakarta, menandai masih adanya kehidupan “hijau” di sana. Dalam bayangan awam, Teluk Jakarta menjadi tempat muara dari sampah dan limbah yang dibuang oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Mendekati kehidupan burung-burung di Teluk Jakarta, seolah membuka mata dan kesadaran untuk melestarikan dan menjaga habitat dan rumah kita bersama di jantung ibu kota.

Kondisi Teluk Jakarta masih menjadi pilihan “rumah” bagi burung air. Pasalnya, Teluk Jakarta merupakan salah satu lokasi yang mendukung burung-burung air dan laut untuk mencari makan berbiak serta beristirahat.

Namun bisa jadi para satwa ini memang tak punya pilihan rumah ternyaman lainnya. Riuhnya pembangunan dan kondisi udara di ibu kota seolah tak satwa pedulikan demi tetap bertahan hidup.
Tampak burung-burung kuntul saling berkejaran dan mencari makan. Itik benjut yang asik menikmati mandi di pagi hari, serta pecuk ular Asia yang dengan tenang mengepakkan sayapnya.

Pergerakan aktivitas burung-burung itu terekam dalam kamera penggiat satwa Ady Kristanto bersama kawan-kawannya dalam Jakarta Birdwatcher Society (JBS). Tak sekadar memotret, komunitas ini juga mencatat jumlah spesies burung. Sebanyak 19 spesies burung air dan laut yang komunitas catat sebagai bentuk partisipasi sensus burung air Asia (Asian Waterbird Census). Kegiatan ini bagian dari International Waterbird Census yang digelar setiap tahun.

Sensus Rutin Burung Air Setiap Tahun

Sejak tahun 2010, JBS telah berpartisipasi dalam agenda sensus burung air ini. Targetnya, kata Ketua JBS, Ady Kristanto melihat fluktuasi perkembangan jenis-jenis burung yang ada di Jakarta. Data kemudian International Waterbird Census catat dan kumpulkan.

“Dari data yang ada itu kemudian dikembalikan ke daerah masing-masing apakah nantinya akan ada tindak lanjut. Misalnya kalau ada spesies yang berkurang maka harus ada penghijauan, kita analisis lebih lanjut,” Kata Adi kepada Greeners yang ikut serta dalam survei tersebut, di Perairan Jakarta, Sabtu (8/1).

Berdasarkan pencatatan, terdapat 19 spesies burung air dan laut. Di antaranya Cangak abu, Blekok sawah, Itik benjut, Cerek krenyut, Bambangan hitam, serta Gagang bayam timur. Cerek krenyut merupakan spesies burung yang paling banyak (95 individu). Sedangkan, spesies yang paling sedikit yaitu Bambangan hitam dan Gagang bayam timur (1 individu).

Menurut pencatatan, JBS juga menemukan burung-burung migran yang sekadar singgah atau mencari makan di Teluk Jakarta. Misalnya, burung Gagang bayam timur, burung migran yang berkembang biak di Indonesia, Australia hingga Selandia Baru.

Beberapa jenis burung migran lainnya berasal dari belahan Utara, seperti Siberia, Rusia, hingga China. Saat musim dingin di negara asalnya, mereka mengunjungi Indonesia. Awal tahun, sambung Ady merupakan momen yang tepat untuk melakukan sensus burung air dan laut. Mereka JBS sinyalir telah menetap di Indonesia.

“Bulan Oktober mulai datang ke sini lalu menetap hingga Februari, Maret persiapan balik lagi dan April mereka bergerak ke Utara,” ungkapnya.

Komunitas JBS sejak tahun 2010 sudah melakukan survei burung air agar mendapat perlindungan dari ancaman kepunahan. Foto: Ramadani Wahyu

Adaptasi di Tengah Beratnya Ekosistem

JBS telah menghimpun data ragam spesies burung yang ada di Teluk Jakarta sejak 12 tahun yang lalu. Fluktuasi jenis spesies burung imbas adaptasi ekosistem merupakan hal yang tak dapat komunitas pungkiri. Bisa jadi semakin menambah atau mengurangi spesies yang ada.

Terekam dalam kamera, seekor kuntul dengan lahap memakan jeroan. Adapun, burung kuntul biasa memakan ikan, katak hingga serangga. “Beberapa di antara mereka juga tampak mengais sampah,” imbuh Ady.

Penumpukan sampah terlihat saat mengitari kawasan Kali Muara Angke. Tak hanya sampah organik, sampah-sampah plastik terlihat mencolok. Hal senada juga terlihat di kawasan pulau hasil reklamasi. Terlepas sisi negatifnya, menurut Ady adanya proyek reklamasi justru menjadikan habitat baru, khususnya bagi burung-burung pantai. Endapan lumpur bersama penumpukan sampah merupakan tempat ternyaman mereka untuk mencari makan.

“Mulai ada reklamasi tahun 2015-2016 itu kita mulai mencatat burung yang tadinya sulit dijumpai. Mereka juga menyesuaikan dengan banyaknya sampah,” ungkapnya.

Meski begitu kehadiran sampah di satu sisi sangat mengganggu ekosistem yang ada di kawasan Teluk Jakarta. Tahun 2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah mengerahkan pasukan untuk mengangkut 50 ton sampah yang ada di kawasan itu.

Ady tak menampik bahwa sampah yang ada di Teluk Jakarta telah berkurang pesat dibanding sebelumnya. Namun, di sisi lain kehadiran sampah ternyata turut menyeimbangkan habitat dari burung-burung air dan laut.

“Kehadiran sampah tampak terganggu dari definisi kita, tapi kalau melihat perkembangan burung di sana mereka sih nyaman saja. Artinya mereka pun beradaptasi selama mereka masih menemukan pakan di situ mereka bertahan,” kata dia.

Ancaman Kepunahan di Depan Mata

Burung merupakan hewan yang sangat rentan terhadap perubahan habitat. Ancaman kepunahan membuat keberadaan mereka sangat rentan. Utamanya, perburuan yang kian marak yang karena latar belakang kondisi ekonomi dan sosial.

“Kalau di Jakarta masih aman. Tapi di Karawang, Bekasi burung-burung (migran) ditembaki untuk dijual,” tegasnya.

Beberapa jenis burung yang menjadi favorit untuk dijual yaitu burung Kareo. Sementara burung yang terancam punah yaitu Bangau bluwok yang populasinya hanya 500-1000 individu saja.

Upaya perlindungan dan pelestarian burung air tampaknya belum menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah daerah. Mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 20 Tahun 2018, ada sebanyak 919 jenis tumbuhan dan satwa yang pemerintah lindungi. Adapun sebanyak 562 atau 61 % di antaranya merupakan jenis burung.

Ady mendorong agar pemerintah secara maksimal mensosialisasikan peraturan yang ada. “Sudah ada aturannya, tapi tidak tersosialisasi dengan baik. Imbauan di taman kota sudah ada, tapi belum masif,” tandasnya.

Simak hasil survei terbaru burung air di Teluk Jakarta

Penulis : Ramadani Wahyu

Top