Lebih dari Satu Dekade, Java Jazz dan Greeners Kerja Sama Kelola Sampah

Reading time: 6 menit
Di balik gemerlap Java Jazz, ada komitmen lebih dari satu dekade Greeners dalam menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Foto: Greeners
Di balik gemerlap Java Jazz, ada komitmen lebih dari satu dekade Greeners dalam menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Foto: Greeners

Jakarta (Greeners) – Di balik gemerlap panggung, dentuman musik, dan ribuan pengunjung yang memadati Java Jazz Festival setiap tahunnya, ada satu cerita menarik. Ini tentang komitmen menjaga lingkungan yang dimulai lebih dari satu dekade lalu bersama Greeners.

Komitmen menjaga lingkungan dengan upaya pengelolaan sampah itu dimulai oleh Greenersβ€”sebuah media yang berfokus pada isu lingkungan dan sosial. Insiatif pengelolaan sampah di acara musik ini bermula pada tahun 2008, tepat saat Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Kala itu, Greeners mendapat tantangan dari salah satu staf kementerian untuk meneliti bagaimana pengeloaan sampah dalam event-event besar yang mengundang massa dalam jumlah masif.

Java Jazz Festival, yang terkenal sebagai salah satu festival musik terbesar di Indonesia dengan puluhan ribu pengunjung setiap tahunnya, menjadi objek pertama dari riset tersebut.

β€œDi tahun pertama, kami hanya melakukan observasi dan pembelajaran terhadap bagaimana festival ini beroperasi. Sampah dari acara musik itu timbulannya sangat besar, dan belum banyak yang memikirkan soal penanganannya secara serius,” ujar pelaku Less Waste Event dari Greeners, Syaiful Rochman.

Dari riset awal yang sederhana ini, kolaborasi antara Java Jazz Festival dan Greeners terus berkembang. Tahun demi tahun, pengalaman di lapangan mereka kumpulkan dan analisis. Akhirnya, pada tahun 2016, Greeners bersama Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan buku β€œPedoman Pengelolaan Sampah pada Penyelenggaraan Acara”.

Buku ini menjadi referensi pertama di Indonesia yang membahas secara teknis dan praktis bagaimana event-event bisa lebih bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan.

Tak hanya berhenti di riset dan panduan, praktik pengelolaan sampah pun berlanjut di lapangan. Mulai dari menyediakan tempat sampah terpilah, membuat desain wadah yang edukatif dan menarik, hingga mengedukasi pengunjung lewat video yang tayang di seluruh layar panggung. Semuanya mereka lakukan secara konsisten dari tahun ke tahun.

Di balik gemerlap Java Jazz, ada komitmen lebih dari satu dekade Greeners dalam menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Foto: Greeners

Di balik gemerlap Java Jazz, ada komitmen lebih dari satu dekade Greeners dalam menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Foto: Greeners

Langkah Nyata Dimulai

Di balik kemeriahan Java Jazz Festival, ada perjalanan panjang mereka untuk berkomitmen mengelola sampah dengan benar di festivalnya.

Sebuah cerita yang berawal dari langkah sederhana di tahun 2009, ketika Greeners pertama kali membawa tempat sampah ke area festival. Jumlahnya belum banyak, namun langkah kecil ini menjadi awal dari gerakan besar yang terus tumbuh hingga hari ini.

Tahun demi tahun, komitmen itu berkembang. Puncaknya terjadi pada 2014, saat kolaborasi antara Greeners dan Java Jazz Festival kembali terjalin dengan lebih serius, berkat dukungan Presiden Direktur Java Festival Production, Dewi Gontha. Di tahun itulah pendekatan pengelolaan sampah mulai berubah. Bahkan, bukan hanya soal menyediakan wadah, tetapi juga soal mengubah cara pandang pengunjung terhadap sampah.

β€œBagi kami di Java Jazz Festival, musik selalu menjadi ruang untuk menyatukan, menginspirasi, dan mengedukasi. Namun, kami juga menyadari bahwa penyelenggaraaan event musik tak lepas dari tanggung jawab lingkungan. Oleh karena itu, sejak awal kami berkomitmen untuk tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga edukasi bagi pengunjung festival tentang pentingnya menjaga lingkungan. Greeners hadir dengan semangat perubahan dan konsistensi sejak 2009, dan hal itu sejalan dengan nilai-nilai kami,” ujar Dewi Gontha.

Greeners mulai merancang desain tempat sampah yang unik dan edukatif agar menarik perhatian dan mendorong partisipasi aktif. Tak hanya itu, mereka juga membuat video edukasi tentang pentingnya memilah sampah yang tayang di layar-layar panggung Java Jazz Festival dan dibintangi oleh artis-artis ternama. Edukasi dikemas dengan cara yang seru, relevan, dan mudah dipahami, menjangkau ribuan pasang mata setiap harinya.

Di balik gemerlap Java Jazz, ada komitmen lebih dari satu dekade Greeners dalam menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Foto: Greeners

Di balik gemerlap Java Jazz, ada komitmen lebih dari satu dekade Greeners dalam menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Foto: Greeners

Pengelolaan Sampah Sistematis

Periode 2014 hingga 2018 menjadi titik penting. Sistem pengelolaan sampah mulai diterapkan secara sistematis. Sampah organik diolah menggunakan komposter menjadi kompos, sementara sampah non-organik disalurkan ke bank sampah atau pengepul. Greeners sebagai pihak yang mengelola sampah ini, memastikan tidak ada sampah hasil pemilahan yang tercampur kembali di belakang panggung.

Namun, perjalanan ini tentu tidak tanpa tantangan. Sebelum tahun 2018, desain tempat sampah kerap berubah, menggunakan bahan kayu, besi, dan lainnya. Karena penggunaannya hanya setahun sekali, banyak yang cepat rusak dan malah menciptakan sampah baru.

Maka dari itu, sejak 2018, Greeners memutuskan menggunakan tempat sampah guna ulang yang seragam berkapasitas 120 liter. Desainnya pun tetap dinamis. Label dan tampilannya berganti setiap tahun. Namun, wadah fisiknya tetap sama.

Seiring waktu, branding kampanye pengelolaan sampah di Java Jazz Festival turut berevolusi. Pada periode 2008–2014, gerakan ini terkenal dengan nama β€œZero Waste Event”. Branding ini penting untuk mendorong penonton agar membuang sampah secara terpilah, sekaligus mengenalkan Java Jazz Festival sebagai acara musik yang memiliki komitmen terhadap lingkungan.

Namun, sejak 2014, pendekatannya lebih realistis dan inklusif. Inisiatif ini bernama β€œLess Waste More Jazz”—sebuah nama yang menggambarkan upaya mengurangi sampah tanpa mengurangi esensi festival itu sendiri.

Lalu, saat Java Jazz Festival mulai menghadirkan lebih banyak genre musik di luar jazz, branding kembali menyesuaikan. Mulai 2023, kampanye ini mengusung nama baru, β€œLess Waste More Music”, mencerminkan semangat yang lebih luas, inklusif, dan sesuai dengan wajah baru Java Jazz Festival.

Jenis Sampah dan Tantangan Edukasi

Tempat sampah terpilah yang Greeners sediakan pun terus berkembang. Awalnya hanya tersedia tiga jenis, yaitu organik, anorganik, dan residu. Namun, seiring waktu, kategori ini bertambah menjadi empat jenis, dengan penambahan sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun) untuk mengakomodasi kebutuhan pengelolaan sampah yang lebih spesifik dan bertanggung jawab.

Syaiful melaporkan bahwa sampah yang paling mendominasi di Java Jazz adalah residu. Terutama dari area food and beverage seperti sedotan, sendok-garpu plastik, dan piring kertas berlapis plastik.

β€œMaka dari itu, Greeners kini mendorong penggantian material dengan yang lebih ramah lingkungan seperti kayu dan bambu,” ucapnya.

Selain itu, tantangan dalam pengelolaan sampah masih tetap ada. Meskipun tempat sampah yang tersedia sudah informatif dan edukatif, masih ada pengunjung yang membuang sampah tidak sesuai kategorinya.

Banyak pengunjung yang belum terbiasa memilah sampah dengan benar. Karena itu, kampanye dan edukasi terus Greeners gencarkan, terutama menyasar generasi baru pengunjung yang mungkin belum familiar dengan sistem pemilahan ini.

Kemudian, rata-rata volume sampah yang Greeners kelola di Java Jazz Festival ini mencapai 12–14 ton dalam 3 hari acara. Semuanya berhasil ditangani tanpa dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sejak 2020, pengelolaan organik juga mulai melibatkan metode budidaya maggot dengan dukungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.

Java Jazz Festival yang berlokasi di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, menjalankan pengelolaan sampah secara kolaboratif. Dalam prosesnya, Greeners tidak bekerja sendiri. Mereka bermitra dengan Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Pusat untuk pengelolaan serta penyaluran sampah ke bank sampah di wilayah tersebut.

Setiap tahun, Greeners mencatat dan menimbang seluruh sampah yang masuk dan keluar dari area festival. Karena pemilahan di depan belum selalu sempurna, Greeners melakukan pemilahan ulang di posko belakang. Meskipun pencatatan masih secara manual, datanya detail dan menjadi dasar evaluasi tahunan dalam upaya perbaikan pengelolaan sampah ke depannya.

Dorong Perubahan BesarΒ 

Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, Novrizal Tahar mengapresiasi langkah Java Jazz bersama Greeners. Menurutnya, konsep less waste event ini adalah sesuatu yang relatif baru dalam pengelolaan sampah di Indonesia.Β 

β€œApa yang sudah Java Jazz dan Greeners lakukan secara konsisten dan terus-menerus ini telah mendorong perubahan-perubahan besar di Indonesia. Memang belum menyeluruh, tapi langkah-langkah tersebut sudah terlihat dan perubahan-perubahan itu nyata terjadi di berbagai tempat, di berbagai event, termasuk juga pada event-event lari dan olahraga lainnya,” kata Novrizal.Β 

Saat ini, KLH juga sudah memiliki aturan pengelolaan sampah untuk acara-acara besar yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik. Kemudian, saat ini KLH sedang mennyiapkan surat edaran untuk pengelolaanΒ 

β€œDraft surat edaran itu sudah ada dan sedang dalam proses pematangan. Mudah-mudahan bisa segera kami rilis ke publik. Dengan demikian, ini akan menjadi sebuah kebijakan yang harus dipatuhi oleh setiap penyelenggara event,” 

Novrizal menegaskan bahwa surat edaran ini nantinya bukan sekadar untuk imbauan, tetapi menjadi kewajiban mandatoryβ€”bagi para penyelenggara event untuk menerapkan praktik less waste.

Ia juga berharap ke depannya less waste event ini bisa terus meningkat. β€œDari pelaksanaan pertama sampai sekarang tentu sudah banyak perubahan besar, dengan dukungan perubahan perilaku masyarakat dan konsumennya. Pesan saya, terus lakukan peningkatan dan inovasi supaya ke depannya bisa menjadi lebih baik lagi,” tambahnya.Β 

Harapan ke Depan

Selama 15 tahun berkolaborasi, itu bukanlah waktu yang sebentar. Namun, ada perjalanan panjang bagi Java Jazz Festival dan Greeners untuk berupaya bersama melakukan pengelolaan sampah, sebagai tanggung jawab terhadap lingkungan.

Syaiful pun mengapresiasi Java Jazz Festival yang sudah konsisten berkomitmen terhadap pengelolaan sampah dengan bijak ini. Menginjak 10 tahun kolaborasi intensif, Syaiful berharap Java Jazz Festival dan seluruh stakeholder semakin memperkuat komitmen terhadap pengelolaan lingkungan.

Menurut Syaiful, tanggung jawab pengelolaan sampah tidak hanya ada pada panitia penyelenggara, tetapi juga sponsor, tenant, bahkan pengunjung.

β€œSemua yang mendapatkan keuntungan dari event ini juga punya tanggung jawab menjaga lingkungannya,” ujar Syaiful.

Selama 15 tahun kolaborasi Java Jazz Festival dan Greeners ini telah membuktikan bahwa keberlanjutan bukan sekadar tren, melainkan komitmen jangka panjang. Di tengah hingar-bingar musik dan euforia ribuan pengunjung, mereka terus menunjukkan bahwa sebuah festival bisa tetap seru tanpa meninggalkan jejak lingkungan yang buruk.

Apa yang Java Jazz Festival dan Greeners lakukan menjadi bukti bahwa perubahan bisa kita mulai dari mana saja. Bahkan, dari balik panggung sebuah konser. Semangat ini tak berhenti di Java Jazz Festival saja. Namun, bisa menginspirasi lebih banyak penyelenggara acara di Indonesia untuk ikut bergerak menuju event yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Menurut Dewi, langkah kecil bersama Greeners telah membawa dampak besar bagi Java Jazz Festival. Ia berharap ke depannya pengelolaan lingkungan ini semakin matang, dengan semakin banyak yang dapat ditunjukkan dan dibagikan.

“Namun, perubahan sejati hanya akan tercapai jika ini bukan hanya menjadi tugas penyelenggara, tetapi menjadi tanggung jawab bersama,” tambah Dewi.

Dewi menegaskan bahwa pihaknya akan mengajak semua pihak yang terlibat dalam Java Jazz Festival, mulai dari artis, sponsor, dan partner untuk bersama-sama menjaga lingkungan festival. “Karena pada akhirnya, keberlanjutan bukan hanya tentang apa yang kita lakukan, tetapi apa yang kita hasilkan bersama,” tutup Dewi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top