Aktivis: Kesejahteraan Petani Sawit Bukan Prioritas Pengembangan Biodiesel

Reading time: 3 menit
Aktivis: Kesejahteraan Petani Sawit Bukan Prioritas Pengembangan Biodiesel
Aktivis menilai pemerintah tidak menempatkan kesejahteraan petani sawit sebagai prioritas dalam pengembangan biodiesel. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Salah satu energi baru terbarukan yang digasak pemerintah Indonesia adalah pengembangan biodiesel berbasis sawit. Tahun ini, ekspansi sawit untuk biodiesel sampai pada B30, di mana pemerintah mencampur 30% biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis solar yang menghasilkan produk biosolar B30. Namun, hingga proses B30, kesejahteraan petani sawit belum menjadi prioritas. Padahal petani sawit memiliki potensi besar sebagai penyedia sumber bahan baku pengembangan, bahkan untuk biosolar B100.

Hal ini disampaikan Manajer Program dan Kemitraan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Tirza Pandelaki, dalam webinar Biodiesel Solusi Tepat untuk Mandiri Energi Indonesia, Rabu (14/10). Tirza mempertanyakan program pengembangan biodiesel yang tidak menyokong kesejahteraan petani. Menurutnya, sampai saat ini hampir tidak ada program yang langsung menyentuh kebutuhan petani.

“Kesejahteraannya untuk rakyat yang mana? Sampai saat ini kami di lapangan hampir tidak pernah melihat program yang menyentuh langsung petani,” protes Tirza.

LSM: Anggaran Lebih Besar untuk Insentif Konglomerat 

Tirza menambahkan alokasi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) 2019 yang berjumlah Rp. 33,6 triliun belum menyentuh kebutuhan petani. Dalam penggunaannya, lanjut Tirza, sebanyak Rp. 30,2 triliun (89,86%) BPDPKS disalurkan sebagai insentif korporasi besar atau para konglomerat sawit, alih-alih petani sawit swadaya.

Menurut Tirza, bujet yang disisihkan untuk kesejahteraan petani seperti dalam program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), pengembangan dan penelitian, sarana prasarana, promosi kemitraan, serta program pengembangan sumber daya manusia angkanya masih sangat kecil.

Aktivis: Kesejahteraan Petani Sawit Bukan Prioritas Pengembangan Biodiesel

Panjangnya rantai pasok dari petani swadaya ke pabrik kelapa sawit mengurangi keuntungan petani swadaya. Sumber Data: Traction Energy Asia.

Baca juga: KLHK Optimalkan Sains dalam Inventarisasi Gas Rumah Kaca

“Kenapa dana untuk PSR diperdebatkan? Sedangkan untuk insentif biodiesel tidak pernah diaudit dan diawasi. Ketika program-program prioritas petani dilaksanakan, petani kesulitan menjalankannya,” tegas Tirza.

Tirza lalu menyebut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan). Dari data Kementan, lanjutnya pada 2020, lahan petani swadaya seluas 6.780.000 hektare. Luasan lahan tersebut digunakan oleh 2,76 petani swadaya. Menurut Tirza, dengan kondisi tersebut, kontribusi petani sawit masih kecil sebab bahan baku industri biodiesel masih diimpor dari negara lain seperti Malaysia dan Sri Lanka.

Kesejahteraan petani, lanjutnya, perlu diperhitungkan dalam program pengembangan biodesel. Tirza menggaungkan pemerintah perlu berpihak kepada petani sawit serta menyertakan petani sawit dalam rantai pasok biodiesel.

“Perbaikan tata kelola sawit Indonesia dan menerima pasokan petani dalam rantai biodiesel akan membantu meningkatkan kesejahteraan. Dengan begitu petani sawit merdeka dari kemiskinan,” lugasnya.

Baca juga: BMKG: Waspadai Puncak La Nina Desember 2020, Januari 2021

LSM: Pemerintah Tidak Menggubris Peran Petani Sawit dalam Pengembangan Biodiesel

Menggema Tirza, Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti, menilai petani swadaya kelapa sawit sangat menjanjikan dalam pengembangan biodiesel. Dengan melibatkan petani sawit, lanjut Ricky, pemerintah daerah dapat menghindari konflik di masyarakat, terutama dalam pembukaan lahan baru. Hanya saja, Ricky mereken sejauh ini peran petani sawit tidak digubris. Petani sawit pun belum mendapat manfaat dari program pengembangan biodiesel.

Padahal, lanjut Ricky, petani sawit berpotensi membantu perekonomian rakyat kecil apabila pemerintah memasukan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok produksi biodiesel. Keterlibatan petani sawit juga akan mengurangi deforestasi dan menjaga hutan alam yang tersisa serta mengurangi emisi dari keseluruhan alur produksi biodisel.

Meski begitu, Ricky mengakui masih ada permasalahan yang dihadapi petani sawit. Salah satunya  rendahnya produksi sawit yang tidak lebih dari 1ton tandan buah segar (TBS). Hal ini kontras mengingat luas perkebunan sawit yang dikelola petani swadaya adalah 40 persen dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Untuk itu, Ricky mendesak pemerintah memberikan intensif lahan untuk meningkatkan produksi.

Selain produktivitas, lanjut Ricky, petani kelapa sawit juga memiliki masalah di rantai pasok. Biodiesel yang digadang-gadang meningkatkan kesejahteraan petani, pun tidak bisa berjalan dengan baik. Ricky mereken, kondisi rantai pasok TBS dari petani ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) bervariasi. Semakin panjang rantai pasok, semakin sedikit keuntungan yang didapat petani.

“Upaya perbaikan rantai pasok dilakukan. Sayangnya biodiesel sebagai kebijakan yang digadang-gadang menyejahteraan petani belum bisa mengintervensi kebijakan sampai ke petani,” jelas Ricky.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

 

Top