Aktivitas Kapal Ikan Asing Ilegal Menurun Drastis

Reading time: 2 menit
kapal ikan ilegal
13 Kapal Ikan Asing (KIA) ilegal berbendera Vietnam ditenggelamkan di Perairan Tanjung Datu, Kalimantan Barat., Sabtu (04/05/2019). Foto: KKP

Jakarta (Greeners) – Berdasarkan hasil analisis tim Global Fishing Watch (GFW) Indonesia, aktivitas kapal ikan asing perairan di Indonesia menurun secara signifikan sejak dikeluarkan kebijakan pelarangannya November 2014 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Dengan menganalisis data Automatic Identification System (AIS) (1), sistem pelacakan kapal dari sumber terbuka (open source), GFW menemukan bahwa terdeteksi hingga 6.800 jam kegiatan penangkapan ikan tiap bulannya antara tahun 2012 dan 2014. Angka-angka bulanan tersebut turun lebih dari 95% pada bulan-bulan setelah larangan ini.

Belum lama ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat melakukan konferensi pers bersama awak media untuk menyampaikan Catatan Kinerja Semester Pertama 2019. Ia menyampaikan bahwa tercatat, sejak 2014, KKP telah menenggelamkan 516 kapal pencuri ikan. Bahkan, di Semester I tahun 2019 saja, KKP telah berhasil menangkap 67 kapal pencuri ikan.

“Pemberantasan IUU Fishing inilah yang telah memberikan dampak positif terhadap Stok Ikan Nasional. Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Kajiskan), Maximum Sustainable Yield (MSY) perikanan Indonesia menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan yaitu dari 7,3 juta ton di tahun 2015 menjadi 12,54 juta ton pada tahun 2017, atau meningkat sebesar 71,78 persen,” tutur Menteri Susi.

BACA JUGA : Menteri Susi Tenggelamkan 13 Kapal Ikan Ilegal Vietnam di Kalimantan Barat

Akan tetapi, analisis GFW juga menunjukkan keberadaan kapal asing di beberapa daerah di tepi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tidak menunjukkan penurunan yang berarti sejak larangan tersebut.

Diperlukan pemantauan yang lebih tinggi untuk mendeteksi pelanggaran di wilayah perbatasan, yang menurut temuan GFW kerap menjadi lokasi pertemuan kapal kargo berpendingin, yang dikenal sebagai reefer, dengan kapal lain dan berpotensi terlibat dalam kegiatan yang dilarang, seperti transshipment.

Terkait hal itu, Dr. Mas Achmad Santosa, Koordinator Staf Khusus Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) mengatakan ke depan, yang perlu diperkuat adalah wilayah pengelolaan perikanan yang jarang terdapat kapal penangkap ikan Indonesia (KII) harus diisi oleh nelayan Indonesia (occupancy).

Sebab, fakta menunjukan kehadiran KII di suatu wilayah akan mengurangi intrusi kapal penangkap ikan asing (KIA).
“Patroli pengawas kita di daerah Natuna utara di dekat garis batas ZEEI kita, dan wilayah perbatasan dengan Palau, Papua Nugini, dan Timor harus diperkuat,” Ujar Mas Achmad.

Analisis GFW selanjutnya juga menunjukkan bahwa dari 2012-2014, lebih dari 90% kapal nelayan asing yang terdeteksi di perairan Indonesia membawa bendera Tiongkok atau Taiwan dan berukuran 80-1500 gross tonnage (GT).

BACA JUGA : Menteri Susi: Saatnya Bersama-sama Jaga Laut Indonesia

Analisis ini mengikuti studi baru-baru ini yang menggunakan data Vessel Monitoring System (VMS) Indonesia sebagai rujukan. VMS digunakan untuk melacak armada industri perikanan Indonesia, dengan data satelit Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS), yang mendeteksi keberadaan kapal penangkap ikan yang menggunakan lampu terang untuk menarik tangkapan atau melakukan operasi di malam hari.

Pencocokan kedua set data dalam hampir waktu sebenarnya dapat sangat membantu pihak berwenang mengidentifikasi kapal gelap, atau kapal yang mematikan alat pelacak, kemungkinan untuk menghindari deteksi.

Ahmad Baihaki, Manajer Program Indonesia, Global Fishing Watch mengatakan kepemimpinan Indonesia dalam membagikan data VMS-nya secara publik telah memungkinkan kami untuk mendukung pekerjaan pemerintah untuk lebih memahami beberapa masalah kelautan dan mengendalikan perikanan Indonesia.

“Kami berharap dapat melakukan lebih banyak analisis seperti ini sebagai hasil kolaborasi kami dengan pemerintah Indonesia, akademisi, atau siapa pun yang berkepentingan dalam mencapai lautan yang berkelanjutan,” kata Ahmad.

Penulis Dewi Purningsih

Top