Benarkah Perubahan Iklim Picu Lonjakan Kasus Demam Berdarah?

Reading time: 3 menit
Nyamuk Aedes Aegypti penyebab demam berdarah. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Perubahan iklim berdampak luas, utamanya pada masalah kesehatan. Salah satunya muncul kekhawatiran ancaman penyakit menular melalui nyamuk penyebab demam berdarah.

Setiap tahun, kasus demam berdarah dengue (DBD) menjadi kejadian luar biasa (KLB), khususnya di beberapa wilayah di Indonesia. Pemerintah daerah terkait mengeluarkan status KLB karena adanya peningkatan jumlah kasus kejadian dan kematian.

Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan menyatakan, tren kasus DBD di Indonesia menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 100.347 kasus. Sedangkan hingga akhir Maret 2022, tercatat sebanyak 22.331 kasus DBD. Jumlah ini melonjak tajam dibanding pada tiga pekan awal 2022, yakni 313 kasus.

Total kasus DBD di NTT sejak Januari hingga Maret 2022 yaitu sebanyak 1.513 kasus. Beberapa daerah telah menyatakan status KLB, seperti dua daerah yakni Kabupaten Sumba Barat Daya dan Ngada.

Jumlah kasus DBD di Kabupaten Sumba Barat Daya sebanyak 164 kasus, tiga di antaranya meninggal dunia. Sedangkan di Kabupaten Ngada terdapat 61 kasus, tiga di antaranya meninggal dunia.

Sementara lonjakan kasus tetap terjadi di Kota Bekasi. Berdasarkan Dinas Kesehatan Kota Bekasi, hingga 10 Juni 2022, sebanyak 1.475 kasus dan 10 orang meninggal karena DBD.

Demam Berdarah Salah Satu Penyakit karena Nyamuk

Ahli Kesehatan Lingkungan dan Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyatakan perubahan iklim menjadi faktor yang mempengaruhi secara signifikan perubahan pola tren berbagai macam penyakit, terutama penyakit yang diperantarai oleh vektor seperti nyamuk.

Nyamuk sangat mudah berkembang biak dan hidup serta menjadi penyakit endemik di daerah yang hangat atau mendekati panas seperti halnya Asia.

“Apalagi di daerah Asia, seperti Singapura, Malaysia dan Indonesia itu yang memang sudah endemik. KLB demam berdarah akan sering dan banyak terjadi karena perubahan iklim ini,” katanya kepada Greeners, Senin (12/6).

Seiring dengan pemanasan global juga turut memicu negara-negara yang sebelumnya tak pernah terdampak demam berdarah tiba-tiba mengalami outbreak. Misalnya negara Nepal yang berada di wilayah kaki gunung Everest dalam 10 tahun terakhir mengalami outbreak DBD.

Dicky menekankan, agar pemerintah mendorong masyarakat dalam perilaku early prevention dengan memastikan pengurangan potensi perkembangan nyamuk. Misalnya memastikan tak ada genangan air, memakai obat oles anti nyamuk, memakai kelambu untuk menutup masuknya nyamuk, hingga memastikan kondisi tak banyak tempat gelap di rumah.

Menurutnya, hingga saat ini penyakit DBD merupakan salah satu penyakit serius yang belum ada obat dan vaksinnya. Upaya yang tak kalah penting, sambung dia yakni memastikan aksi-aksi nyata dalam melawan perubahan iklim. Seperti memastikan pembangunan kesehatan dengan mengacu pada harmonisasi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan atau one health.

“Melawan perubahan iklim tak sekadar soal emisi karbon. Tapi juga perilaku manusia untuk bagaimana melakukan pembangunan dengan masih mempertimbangkan harmonisasi dengan alam, seperti tidak menebangi hutan,” ucapnya.

Kasus DBD Selalu Ada karena Indonesia Negara Tropis

Plt. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tiffany Tiara Pakasi menyatakan, kasus KLB DBD akan selalu ada utamanya karena Indonesia merupakan negara tropis.

“Nyamuk tetap ada dan negara tropis seperti Indonesia menjadi lokasi tepat untuk perkembangbiakan Aedes aegypti,” katanya.

Ia mendorong agar masyarakat dapat menjaga kondisi lingkungan sekitar agar tak memicu perindukan nyamuk. “Terlebih vektor nyamuk hanya terbang kurang lebih 100 meter untuk menjangkau manusia,” imbuhnya.

Ia mengimbau masyarakat untuk menerapkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus. Adapun M pertama yaitu menguras, merupakan aktivitas menguras tempat yang sering menjadi penampungan air. Selanjutnya yaitu M menutup yang merupakan kegiatan menutup rapat tempat-tempat penampungan air.

Berikutnya yaitu M ketiga adalah memanfaatkan kembali limbah barang bekas yang bernilai ekonomis. Terakhir yaitu plus upaya pencegahan antisipasi DBD melalui penggunaan obat anti nyamuk hingga pemakaian kelambu untuk jendela dan ventilasi.

“Ini harus dilakukan saat memasuki musim hujan guna memutus siklus hidup nyamuk yang memang bisa bertahan di tempat kering selama enam bulan,” ucapnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top