Berdayakan Pangan Lokal Sebagai Bantuan Pangan untuk Korban Bencana

Reading time: 2 menit
Pangan lokal punya potensi membangun ketahanan pangan. Foto: Ilustrasi

Jakarta (Greeners) – Pada tahun 2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya terjadi 1.559 bencana di Indonesia yang menyebabkan 490 jiwa menjadi korban dan mempengaruhi kehidupan dua juta orang lainnya. Saat bencana datang, bantuan utama yang sangat dibutuhkan selain kesehatan adalah pangan.

Namun, kebanyakan bantuan pangan yang diterima oleh masyarakat yang menjadi korban bencana alam berwujud mi instan maupun beras. Padahal, bantuan tersebut justru beresiko menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap terigu dan beras. Dalam jangka panjang, solusi ini tentu tidak menyelesaikan masalah lantaran di kawasan tertentu, bencana selalu datang tahunan.

Melalui keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Program Officer untuk Ekosistem Pertanian, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Puji Sumedi mengutarakan, jika menilik peta rawan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, lebih dari separuh wilayah di Nusa Tenggara Timur berwarna merah. Ini artinya risiko bencana tinggi, termasuk di dalamnya adalah kekeringan. Musim kering di Nusa Tenggara, berimplikasi langsung ke dalam ketersediaan pangan.

Kasus terakhir adalah bencana kelaparan di lima desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Juni 2015. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah, bantuan datang berupa beras 24 ton dan 800 kardus mi instan dari Menteri Sosial serta 50 ton dari pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur. Bantuan tersebut tentu tidak menyelesaikan masalah karena kelaparan terjadi karena sawah dan kebun milik warga tidak bisa ditanami akibat kekeringan yang panjang.

“Oleh karena itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menyiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana sehingga mampu mengurangi risikonya (mitigasi) untuk beradaptasi. KEHATI sendiri mendorong pelestarian sumber pangan lokal sesuai dengan potensi setempat atau diversifikasi pangan,” jelas Puji, Jakarta, Sabtu (11/07).

Model pelestarian sumber pangan lokal itu sendiri, lanjut Puji, bisa dilakukan dengan memanfaatkan kembali lumbung pangan lokal. Baik yang ada di keluarga maupun di tingkat desa. Namun yang terpenting adalah mengubah pola pikir masyarakat untuk kembali mengonsumsi pangan lokal itu sendiri.

“Sejak 2013 itu KEHATI telah menggandeng mitra-mitra lokal di NTT untuk membangun kedaulatan pangan berbasis sumber pangan lokal,” tambahnya.

Mulai dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Sumba Timur dan Pulau Flores, warga diajak untuk membudidayakan kembali jagung lokal, ragam sorgum, umbi-umbian dan jewawut. Selain itu KEHATI juga mendampingi masyarakat untuk dapat mengelola paska panen yang benar, mengolah sorgum menjadi makanan enak dan sehat untuk keluarga, terutama untuk anak-anak.

Keanekaragaman pangan di tiap daerah dapat menjadi cadangan pangan, termasuk saat bencana terjadi. Menurut Puji, pada dasarnya model diversifikasi pangan yang dilakukan KEHATI sejalan dengan mandat UU Pangan no. 18 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah no 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi.

“Tinggal pemerintah dan masyarakat yang berkomitmen agar pangan lokal terintegrasi dengan kebijakan daerah. Karena yang sulit adalah mengubah pola pikir beras sebagai makanan pokok dan menaikkan derajat pangan lokal sebagai sumber pangan kaya gizi, aman serta menggugah selera. Dan lewat kebijakan daerah, kebiasaan bisa perlahan diubah,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top