Bersiaplah Menghadapi Dunia yang Lebih Panas 3°C dalam 80 Tahun ke Depan

Reading time: 3 menit
dunia yang lebih panas
Ilustrasi: pixabay

LONDON, 31 Oktober 2017 – Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PBB, pemerintah sudah harus menerima bahwa kita akan tinggal di dunia yang lebih hangat 30C ketimbang saat ini pada akhir abad ini, kecuali mereka mempercepat upaya penurunan emisi gas emisi rumah kaca.

Saat ini, jelas PBB, bahkan mengimplementasikan sepenuhnya tujuan Kesepakatan Paris (yang dicapai pada 2015) hanya akan menutupi sepertiga dari yang diperlukan bagi dunia untuk menghindari dampak perubahan iklim.

Hal tersebut akan membuat “suhu naik hingga 30C pada tahun 2100 sangat mungkin terjadi” – artinya bahwa pemerintah perlu melakukan komitmen yang lebih kuat saat merevisi komitmen tersebut pada tahun 2020.

“Seandainya Amerika Serikat meninggalkan Kesepakatan Paris pada tahun 2020, hal tersebut justru akan menjadi lebih suram,” seperti tertulis dalam Emissions Gap report, yang disusun oleh UN Environment dan akan dipublikasikan minggu depan pada Konferensi Perubahan Iklim di Bonn, Jerman.

Laporan tersebut menyatakan bahwa komitmen nasional yang dibuat dua tahun lalu hanya bisa mencakup sepertiga pengurangan emisi yang diperlukan pada tahun 2030 untuk bisa mencapai target iklim yang disetujui. Dan, laporan tersebut menyatakan bahwa sektor swasta dan kota dan grup lainnya di bawah level nasional tidak cukup cepat berkembang untuk menutup gap yang ada.

Kesepakatan Paris bertujuan untuk menahan pemanasan global di bawah 20C, dengan target lebih ambisius yaitu 1,50C. Suhu rata-rata global semakin meningkat sebagai konsekuensi dari pemanasan yang didorong oleh level gas rumah kaca yang tinggi di atmosfer, sebagai reaksi terhadap konsumsi global bahan bakar fosil.

Memenuhi target di Paris akan mampu mengurangi dampak iklim yang berbahaya pada kesehatan manusia, penghidupan dan ekonomi di seluruh dunia. Namun, laporan tersebut menyarankan cara-cara praktis untuk membuat penurunan emisi lebih dalam dan cepat melalui aksi untuk pengurangan dengan beberapa pilihan di sektor pertanian, bangunan, energi, kehutanan, industri, dan transportasi.

Aksi kuat untuk penghangat iklim lainnya, seperti hidroflorokarbon, melalui Kigali Amendment untuk Protokol Montreal, dan polutan iklim lainnya seperti karbon hitam, juga digunakan untuk memberikan kontribusi. Amandemen ditujukan untuk meninggalkan penggunaan dan produksi dari hidroflorokarbon, bahan kimia yang digunakan pada pendingin udara, lemari es, dan insulasi busa.

“Setahun setelah Kesepakatan Paris memasuki masa implementasi, kita masih bertemu pada situasi di mana kita tidak melakukan hal yang cukup untuk menyelamatkan ratusan juta orang dari masa depan yang suram,” jelas Erik Solheim, pimpinan UN Environment.

“Hal ini tidak dapat diterima. Apabila kita menginvestasikan kepada teknologi yang tepat, menjamin bahwa sektor swasta terlibat, kita masih bisa menepati janji yang kita buat untuk anak kita untuk melindungi masa depan mereka. Namun, kita harus melakukannya sekarang.”

Puncak emisi

Emisi CO2 telah menjadi stabil sejak tahun 2014 akibat energi terbarukan yang digerakkan di Cina dan India. Hal ini memberikan harapan bahwa emisi telah memuncak seperti seharusnya pada tahun 2020 untuk mencapai prediksi iklim yang sukses.

Namun, laporan tersebut mengingatkan bahwa gas rumah kaca lainnya, seperti metan, masih meningkat dan pertumbuhan ekonomi global dapat dengan mudah membuat emisi CO2 meningkat kembali.

Pada 30 Oktober, Organisasi Meteorologi Dunia melaporkan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat pada kecepatan yang menembus rekor pada tahun 2016 terhadap level tertinggi mereka 800.000 tahun yang lalu.

Perubahan yang mendadak di atmosfer yang terjadi pada 70 tahun yang lalu tidak pernah diprediksikan, jelas laporan tersebut.

Laporan Emissions Gap menyatakan bahwa komitmen Paris saat ini membuat emisi tahun 2030 akan mencapai 11 hingga 13,5 gigaton CO2 ekuivalen (GtCO2e) di atas level yang diperlukan untuk bisa mencapai target 20C. Satu gigaton setara dengan setahun emisi transportasi di Uni Eropa, termasuk dunia penerbangan.

Gap emisi pada kasus target 1.50C adalah 16 hingga 19 GtCO2e, lebih tinggi dari estimasi sebelumnya.

Memperlambat momentum

“Kesepakatan Paris telah mendorong aksi untuk iklim, namun momentumnya semakin goyah,” jelas Dr. Edgar Gutiérrez-Espeleta, Menteri Lingkungan Hidup dan Energi Costa Rica dan presiden 2017 UN Environment.

Menghindari pembangunan tenaga listrik berbahan bakar batubara dan mempercepat penghapusan yang ada akan lebih membantu. Setidaknya ada 6.683 pembangkit listrik tenaga batu bara di dunia dengan kapasitas total 1,964 GW.

Apabila mereka beroperasi hingga akhir dan tidak diretrofit dengan carbon capture and storage (sebuah teknologi kontroversial dan belum terbukti secara komersial), mereka akan mengemisi hingga 190 GtCO2e.

Pada tahun 2017, tambahan 273 GW pembangkit listrik sedang dalam konstruksi dan direncanakan pengembangan hingga 570 GW. Pembangkit baru ini akan berujung kepada emisi sebesar 150 GtCO2e. Sepuluh negara yang mencakup hingga 85 persen dari seluruh pembangkit listrik, yaitu Cina, India, Turki, Indonesia, Vietnam, Jepang, Mesir, Bangladesh, Pakistan, dan Korea Selatan.

Laporan lainya, dari 1 Gigaton Coalition, menunjukkan bahwa proyek energi terbarukan dan efisiensi energi di negara berkembang dapat menurunkan 1,4 GtCO2e pada tahun 2020 – disediakan oleh komunitas internasional untuk menagih janji memobilisasikan 100 milyar dolar per tahun untuk membantu negara berkembang beradaptasi dengan perubahan iklim dan mengurangi emisi mereka. – Climate News Network

Top