BPOM Bentuk Konsorsium Nasional untuk Mengembangkan Fitofarmaka Indonesia

Reading time: 2 menit
fitofarmaka
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito. Foto: BPOM

Jakarta (Greeners) – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito mengatakan bahwa BPOM RI akan membentuk Konsorsium Nasional Percepatan Pengembangan dan Peningkatan Pemanfaatan Fitofarmaka. Pembentukan konsorsium nasional ini bertujuan untuk memberikan alternatif dalam obat dan pengobatan di Indonesia.

Penny mengatakan bahwa Konsorsium Nasional ini merupakan salah satu bentuk konkrit perwujudan sinergi akademisi, pelaku usaha, dan pemerintah. Konsorsium Nasional dibentuk dengan melibatkan beberapa Kementerian/Lembaga seperti Kemenristekdikti, Kementan, Kemkes, BPPT, LIPI, Kemendag, Kemenko PMK, dan juga asosiasi perguruan tinggi farmasi, ikatan apoteker, serta Gabungan Pengusaha Jamu dan Gabungan Pengusaha Farmasi.

“Produk fitofarmaka, yaitu obat berbahan alam yang sudah melalui uji klinis dan telah menjadi obat. Kedepannya harapan kita fitofarmaka ini menjadi alternatif dalam obat dan pengobatan di Indonesia dan bisa masuk ke dalam sistem jaminan kesehatan nasional Indonesia yang akan mengurangi beban jaminan kesehatan nasional,” ujar Penny saat ditemui awak media di Hotel Ayana Midplaza Jakarta, Senin (19/11/2018).

BACA JUGA: BPOM dan Kemenristekdikti Tandatangani Nota Kesepahaman Percepatan Penelitian Obat 

Ada enam bidang yang ada dalam konsorsium nasional ini yaitu bahan baku, teknologi farmasi dan standarisasi, uji pra klinik/uji klinik, pelayanan kesehatan tradisional, promosi fitofarmaka, serta monitoring dan evaluasi.

Menurut Penny, konsorsium nasional ini telah melakukan rapat pada bulan Oktober lalu dan menetapkan 32 kandidat tanaman terpilih dengan 13 prioritas penyakit yang akan diteliti dan dikembangkan menjadi produk fitofarmaka.

“Mari kita bersinergi untuk memberikan kontribusi nyata sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kemajuan industri obat dan makanan yang merupakan salah satu elemen penting dari kejayaan bangsa Indonesia,” kata Penny.

Penny menegaskan bahwa obat jenis fitofarmaka ini akan terus dikembangkan termasuk juga meningkatkan kualitas bahan baku industri jamu. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dan obat dalam bentuk tanaman yang belum dikembangkan dengan baik.

“Fitofarmaka ini akan terus dikembangkan, sudah 21 jenis obat yang sedang dikembangkan. Dibandingkan Cina dan India, kita memang masih kalah karena mereka sudah ratusan jenis yang dikembangkan. Untuk itu, berbagai upaya akan kita usahakan terus supaya bisa mengembangkan varian untuk jamu dan fitofarmaka yang lebih cepat, efisien dan efektif,” tutur Penny.

BACA JUGA: BPOM Rilis Daftar Kosmetik dan Obat Tradisonal Ilegal 

Menurut Industry Facts and Figures 2017 yang dipublikasikan Kementerian Perindustrian, pada tahun 2016 industri makanan dan minuman mengalami pertumbuhan paling besar pada kelompok industri non migas yaitu 8,46% sedangkan industri kimia, farmasi, dan obat tradisional tumbuh 5,48%. Namun di tengah pertumbuhan industri ini, industri farmasi di Indonesia menghadapi tantangan dimana 90-95% bahan baku masih bergantung pada impor.

Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati mengatakan bahwa alasan dipilihnya fitofarmaka untuk dikembangkan karena budaya Indonesia yang sudah dekat dengan jamu sebagai produk andalan di Indonesia.

“Ini juga untuk mengatasi ketergantungan bahan baku yang masih impor sekitar 95 persen. Upaya kita adalah untuk mendorong hasil kekayaan keanekaragaman hayati kita menjadi obat di bangsa sendiri dan target selanjutnya untuk bangsa dunia. Selain itu, hal ini akan menjadi langkah keberpihakan pemerintah kepada masyarakat Indonesia yang sebagian besar mengedepankan jamu sebagai obat untuk menyehatkan diri,” ujar Damyati.

Penulis: Dewi Purningsih

Top