Jakarta (Greeners) – Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru untuk penanganan perubahan iklim global. Konvensi akbar yang sejatinya usai pada tanggal 11 Desember 2015 ini mesti diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan kesepakatan.
Menurut Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan Energi, Friends of the Earth International, dalam keterangan resminya mengatakan, bagi politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, padahal hal ini justru sebaliknya. Dipti justru menyatakan bahwa kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu oleh kepentingan negara kaya.
“Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Minggu (13/12).
Dipti juga menyatakan, negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk.
Menurut Dipti, negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa, mestinya membagi tanggung jawab yang adil untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kesepakatan Paris sendiri, menurut Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), akan memberikan dampak sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Karena kesepakatan iklim di Paris tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dengan demikian lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan.
“Sikap pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju,” tambahnya.
Sebagai catatan kritis, ada beberapa masalah penting yang menjadi analisis grup Friends of the Earth terkait kesepakatan di Paris. Pertama, kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius adalah tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur hingga batas 1,5 derajat Celcius.
Hal tersebut tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta tidak memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang.
Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menanggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.
Ketiga, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik (political will) tidak ada.
Keempat, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.
Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah. Dalam kasus REDD+ misalnya, akan menjadikan negara-negara maju mendukung proyek perkebunan yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.
“Kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih