Indonesia Berisiko Rendah Terdampak Badai Matahari

Reading time: 2 menit
sengatan matahari
Ilustrasi cahaya matahari. Foto: pixabay

Jakarta (Greeners) – Meski badai matahari berdampak ke bumi, namun Indonesia berpotensi lemah untuk terdampak. Jika pun ada dampak tak sebesar daerah di lintang tinggi, seperti kutub bumi. Sebab letak Indonesia yang berada di khatulistiwa.

Cuaca antariksa tersebut di Indonesia hanya akan banyak berdampak pada gangguan sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit seperti GPS.

Peneliti Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Johan Muhammad mengatakan, badai matahari akan berdampak signifikan terhadap aktivitas manusia di bumi. Aktivitas matahari secara langsung mengubah kerapatan dan tekanan plasma di medium antarplanet dan ionosfer, serta meningkatkan tekanan magnetik pada magnetosfer bumi.

“Akibatnya, berbagai sinyal gelombang elektromagnetik yang biasa manusia manfaatkan untuk keperluan komunikasi dan navigasi dapat terganggu saat terjadi aktivitas matahari yang ekstrem,” katanya di Jakarta, baru-baru ini.

Aktivitas Matahari Pengaruhi Cuaca Antariksa

Dalam keterangan tertulisnya, Johan menyatakan aktivitas masyarakat di lintang tinggi yang mengandalkan jaringan satelit dan kelistrikan akan terganggu akibat cuaca antariksa ini.

Matahari secara rutin melepaskan energi dalam bentuk radiasi. Beberapa aktivitas matahari yang berpengaruh besar terhadap kondisi cuaca antariksa di antaranya adalah flare, lontaran massa korona dan angin surya.

Berbagai aktivitas matahari telah banyak terjadi di masa lalu dan sampai hari ini terus terjadi. Johan menjelaskan, sebagai sumber energi utama di tata surya, matahari memiliki pengaruh terhadap cuaca antariksa.

Cuaca antariksa merupakan kondisi di lingkungan antariksa, khususnya antara matahari dan bumi. Kondisi ini meliputi matahari, medium antarplanet, atmosfer atas bumi (ionosfer) dan selubung magnet bumi (magnetosfer).

“Seperti halnya cuaca di bumi, cuaca antariksa bersifat dinamis dan sangat bergantung pada aktivitas matahari,” jelasnya.

Penampakan satelit di antariksa. Foto: treehugger.com

Masyarakat Indonesia Jangan Tersulut Hoaks

Johan menyebut, manusia telah lama hidup berdampingan dengan cuaca antariksa. Aktivitas matahari rutin terjadi. Oleh karenanya, ia menegaskan, tak ada istilah kiamat badai matahari di kalangan para ahli.

“Yang perlu kita pahami adalah bagaimana prosesnya dan memitigasi dampak negatifnya semampu kita,” ujarnya.

Ia sekaligus memastikan bahwa kehadiran BRIN berguna untuk memberikan edukasi pada masyarakat agar tak panik dan mudah tersulut hoaks terkait badai matahari yang beredar.

Matahari mempunyai siklus sekitar 11 tahun sekali dan sifatnya tak selalu sama setiap saat. Terkadang melepaskan energi eksplosif sedangkan pada periode lain bersifat tenang.

Setidaknya, keberadaan siklus matahari telah terdokumentasikan dengan baik sejak abad 18. Saat ini, kita sedang berada di awal siklus ke-25 yang perkiraannya akan mencapai puncaknya pada tahun 2024-2025.

Saat itu, aktivitas matahari perkiraannya akan meningkat dengan frekuensi kejadian flare dan lontaran massa korona.

BRIN juga menyediakan layanan informasi seperti ini melalui situs Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) di laman http://swifts.brin.go.id/.

“Masyarakat dapat menemukan informasi mengenai aktivitas matahari yang terjadi dalam 24 jam terakhir, serta kondisi geomagnet dan ionosfer global serta regional wilayah Indonesia,” paparnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top