Rainforest Action Network (RAN) Indonesia mendesak perusahaan besar –khususnya merek ternama dunia– menghentikan suplai minyak sawit dari produsen bermasalah. Penghentian suplai dalam bentuk pembatalan kontrak harus menjadi langkah perusahaan tersebut. Pasalnya, tak sedikit produsen minyak sawit di Indonesia yang melanggar kebijakan pemerintah terkait nol deforestasi khususnya di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kawasan Aceh Timur ini merupakan salah satu wilayah konservasi paling penting di Bumi.
Jakarta (Greeners) – Direktur Kebijakan Hutan RAN, Gemma Tillack, mengatakan setiap perusahaan besar mengambil langkah berbeda untuk berperan dalam mengatasi perusakan KEL. Perusahaan seperti PepsiCo dan Unilever kerap mengambil inisiatif dengan menghentikan suplai dari para produsen minyak sawit bermasalah. Beberapa nama lain seperti Nestle, Mars, dan Mondelez telah gagal berkomitmen untuk turut serta melindungi KEL.
“Kelambanan dari merek-merek ini terus memicu perusakan hutan hujan dataran rendah yang sangat luas,” ujar Gemma kepada Greeners.co, Senin (23/11/2020).
Praktik Menyimpang Produsen Sawit Ancam Ekosistem Hutan
Gemma mengungkapkan salah satu temuan praktik menyimpang para produsen minyak sawit terjadi di wilayah Aceh Timur. Dari temuan tersebut setidaknya terdapat sembilan perusahaan melakukan deforestasi. Sembilan produsen minyak sawit pelaku deforestasi yang masuk ke dalam catatan RAN, yakni:
- Aloer Timur
- Indo Alam
- Nia Yulided
- Putra Kurnia
- Agra Bumi Niaga
- Tegas Nusantara
- Tualang Raya
- PTPN 1 Blang Tualang
- Beurata Maju
RAN: Komitmen Nol Deforestasi Selamatkan Ekosistem Hutan
Beberapa perusahaan sudah mengeluarkan surat komitmen terhadap nol deforestasi. Menurutnya, hal tersebut penting begi produsen minyak sawit agar tetap bisa memasok minyak sawit ke pasar global.
“Sejumlah besar produsen minyak sawit nakal yang sebelumnya terlibat dalam perampasan lahan dan perusakan hutan terus mengeluarkan komitmen baru untuk mematuhi kebijakan nihil deforestasi dari merek dan pedagang besar,” jelasnya.
Gemma menekankan komitmen nol deforestasi dari para produsen minyak sawit juga dapat menyelamatkan ekosistem hutan. Kawasan hutan hujan dataran rendah di Aceh Timur, lanjut dia, sangat penting sebab menjadi habitat terbaik dan jalur migrasi bagi gajah Sumatera yang terancam punah. Menurutnya, pembukaan lahan yang terjadi di wilayah tersebut memperparah proses perburuan hewan tersebut. Selain itu, dampak lain yang terjadi adalah timbulnya konflik antara gajah dengan masyarakat setempat.
“Saat hutan runtuh dan manusia semakin mengganggu habitat mereka (gajah), konflik gajah dan manusia meningkat. Gajah tersesat di lahan yang telah dibuka dan berkonflik langsung dengan masyarakat dan pekerja perkebunan. Gajah jadi seringkali merusak rumah masyarakat setempat,” terangnya.
Baca juga: Sembilan Puluh Persen Septic Tank di Indonesia Bocor
Kolaborasi Kunci Mencegah Deforestasi
Lebih jauh Gemma menyampaikan bahwa pihaknya terus melakukan monitoring deforestasi. Upaya pemantauan melalui satelit, pendokumentasian lapangan, dan pelaporan melalui situs Leuser Watch dilakukan untuk merekam praktik menyimpang baik produsen minyak sawit maupun perusahaan-perusahaan merek dunia.
RAN berkolaborasi dengan menggandeng lembaga swadaya masyarakat lokal, perusahaan, dan pemerintah daerah untuk membentuk koalisi. Diharapkan koalisi tersebut dapat memberi solusi nyata dalam mengamankan perlindungan jangka panjang hutan hujan dataran rendah di Ekosistem Leuser. Atas kolaborasi tersebut, salah satu inisiatif di Kecamatan Aceh Tamiang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian berkelanjutan di atas 13.000 hektar lahan, sekaligus melestarikan 230.000 hektar kawasan Bernilai Konservasi Tinggi dan hutan Stok Karbon Tinggi dan meningkatkan mata pencaharian 1.000 petani kecil dan 500 anggota masyarakat.
Gemma menambahkan, upaya kerja sama adalah upaya untuk mengidentifikasi, melindungi, dan menghubungkan kembali kawasan bernilai konservasi tinggi dan hutan dengan stok karbon tinggi. Inisiatif tersebut perlu untuk terus mencari cara baru dan inovatif untuk mengatasi konflik manusia dan satwa liar khususnya menjaga keberlangsungan populasi gajah dan harimau Sumatera kawasan ini untuk bertahan hidup.
“Dalam beberapa bulan terakhir, langkah-langkah positif telah diambil untuk membangun sistem pemantauan dan respons hutan kolaboratif. Ini alat penting yang diperlukan untuk mengatasi deforestasi di Kawasan Ekosistem Leuser,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi