Jaga Potensi Karbon Biru di Mangrove dan Padang Lamun

Reading time: 3 menit
Eksosistem mangrove di Indonesia. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Indonesia mempunyai potensi karbon biru pada mangrove dan padang lamun. Keduanya harus dapat perlindungan untuk mempercepat pencapaian target pengurangan emisi karbon.

Peneliti karbon biru Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Virni Budi Arifanti mengatakan, potensi karbon biru di Indonesia yang terdiri atas mangrove dan padang lamun telah menjadi isu internasional.

“Indonesia merupakan negara dengan mangrove terluas di dunia karena kita negara kepulauan. Cadangan karbon biru hampir seperempat global,” katanya kepada Greeners, Kamis (1/12).

Bahkan, berdasarkan studi menunjukkan hutan mangrove menyimpan cadangan karbon 3 hingga 4 kali lebih tinggi dibanding hutan daratan. Mangrove menyimpan karbon dalam tanahnya yang selalu basah sehingga proses oksidasi bahan organik di lantai hutan sangat lambat.

Ini berpengaruh terhadap cadangan karbon mangrove. “Potensinya sangat besar yakni sekitar 3,14 miliar ton CO2 untuk mangrove, dan sekitar 368,5 juta ton CO2 untuk lamun,” ungkapnya.

Masalahnya, pengelolaan mangrove menghadapi tantangan seperti adanya konversi mangrove untuk pemanfaatan kelapa sawit hingga tambak udang. Padahal, dengan konversi ini juga akan melepas cadangan karbon dalam mangrove.

“Menurut penelitian, emisi yang dihasilkan dari satu kg udang dari lahan bekas mangrove sama dengan emisi 2.074 liter bahan bakar. Konservasi mangrove bisa berkontribusi lebih besar dalam pencapaian target NDC Indonesia bila ekosistemnya terus dijaga,” tegasnya.

Mangrove di satu sisi tak sekadar mampu mengendalikan perubahan iklim, mencegah abrasi dan erosi. Akan tetapi harus mampu dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat sekitar. Ia menilai konversi mangrove untuk tambak udang bukanlah solusi yang tepat, baik secara ekologis maupun ekonomi.

“Pendapatan tambang udang sekarang tak sebagus 10 tahun pertama. Berdasarkan penelitian saya, sekarang kalau untuk tiga kali panen tak sampai satu ton,” imbuhnya.

Virni merekomendasikan pemanfaatan mangrove sebagai ekowisata yang lebih berpotensi ke depan. Terutama, sambung dia saat ini mangrove menjadi daya tarik wisatawan, baik lokal maupun internasional.

Kebut Rehabilitasi Mangrove

Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada Januari 2022 menyebut, capaian rehabilitasi mangrove di tahun 2021 hanya seluas 29.500 hektare (ha) di sembilan provinsi prioritas. Lalu 3.500 ha di lokasi tambahan (23 provinsi). Itu artinya, total luasan rehabilitasi mangrove hanya 33.000 ha di tahun 2021.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin menilai, luasan itu baru 5,5 persen keseluruhan target rehabilitasi mangrove sampai dengan tahun 2024. Menurutnya itu sangat kecil.

“Butuh akselerasi 5 kali lipat untuk mencapai target ambisius tersebut. Apalagi luasan mangrove yang baik hanya 788.496 ha,” kata Parid.

Ia menyebut, rehabilitasi mangrove yang pemerintah dorong bertabrakan dengan rencana pemerintah sendiri. Misalnya dalam melanjutkan proyek reklamasi di berbagai wilayah Indonesia.

Berdasarkan catatan Walhi tahun 2022, proyek reklamasi di Indonesia yang eksisting seluas 79.348 ha dan akan terus dibangun seluas 2,69 juta ha. Luasan tersebut berdasarkan data yang tercatat dalam dokumen Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di 22 provinsi di Indonesia.

“Hutan mangrove di berbagai wilayah pesisir di Indonesia hancur dan rusak oleh proyek reklamasi,” tandasnya.

Sementara mengacu data statistik sumber daya laut dan pesisir tahun 2020, total luasan hutan mangrove 2,51 juta. “Data ini menggambarkan kondisi mangrove di Indonesia dalam kondisi yang tidak baik-baik saja,” ujarnya.

Padang lamun. Foto: Unsplash

Peluang Karbon Biru Indonesia

Sementara itu, Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC). Awalnya 29 % dengan usaha sendiri menjadi 31,89 % dan target dukungan internasional sebesar 41 % meningkat menjadi 43,20 %.

Komitmen tersebut diikuti dengan implementasi strategi rendah karbon yang tak hanya pada sektor darat, tapi juga potensi laut atau blue carbon. Bahkan, Indonesia juga menyertakan blue carbon ini dalam agenda negosiasi COP27 di Sharm El-Sheik, Mesir 6-18 November lalu sebagai bagian melawan perubahan iklim.

Sebelumnya, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengembangkan ekosistem karbon biru.

“Indonesia lebih dari siap untuk mengembangkan ekosistem karbon biru melalui investasi yang komprehensif, dengan kemitraan yang efektif dari semua pemangku kepentingan dan mekanisme keuangan yang terintegrasi,” kata Luhut.

Ia menekankan pentingnya kemitraan dan investasi dalam pembangunan karbon biru, mengingat peran penting ekosistem laut dan pesisir bagi iklim global.

Indonesia, bersama dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo, adalah negara dengan hutan tropis dan lahan basah terbesar, termasuk lahan gambut dan bakau, di dunia. “Kami berkomitmen untuk melestarikan pengelolaan yang berkelanjutan dan memulihkan ekosistem kritis ini,” ucapnya.

Menurutnya, ekosistem mangrove mencapai 3,36 juta ha atau 23 persen dari luas mangrove dunia. Lalu 3 juta ha habitat rumput laut dan keanekaragaman hayati terumbu karang.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top