Jokowi : Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan

Reading time: 3 menit
Selain memicu cuaca ekstrem, perubahan iklim juga akan berdampak pada krisis pangan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Presiden Joko Widodo menyebut dampak nyata perubahan iklim semakin mengkhawatirkan, khususnya pada sektor ketahanan pangan. Fenomena ini sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia sebagai negara agraris dan kepulauan.

Imbas perubahan iklim sangat nyata, termasuk frekuensi, intensitas dan durasi bencana geohidrometeorologi yang semakin meningkat. “Daya adaptabilitas tanaman dan produktivitas tanaman semakin menurun dan ini mengancam ketahanan pangan di negara kita,” katanya dalam Puncak Peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) di Jakarta, Rabu (30/3).

Dalam keterangan resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jokowi mengungkapkan, Indonesia merupakan satu dari banyak negara yang terdampak perubahan iklim.

Negara lain juga merasakan dampak di antaranya peningkatan suhu udara, suhu muka air laut yang semakin menghangat dan terjadi laju kenaikan muka air laut. Kondisi ini membahayakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam kesempatan itu, Jokowi berpesan kepada masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan. Pertama, serius memperhatikan informasi cuaca dan perubahan iklim yang BMKG dan instansi lainnya berikan. 

Kemudian formulasikan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan cepat untuk penanganan yang lebih baik. Selanjutnya, memperkuat kolaborasi lintas kementerian lembaga, swasta dan berbagai elemen bangsa lainnya dalam adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim.

Selain itu, Jokowi meminta jajarannya mengembangkan sistem peringatan dini yang handal dengan menyediakan data dan informasi meteorologi, klimatologi dan geofisika secara cepat dan akurat. Ketiga, Jokowi menekankan untuk melakukan sistem edukasi kebencanaan yang berkelanjutan. Jokowi menginginkan jajarannya melakukan edukasi, literasi dan advokasi berkelanjutan.

“Manfaatkan AI, big data, teknologi high performance computing dan lakukan dengan inovasi. Teknologi rekayasa sosial dan cara kreatif untuk membangun kesadaran, ketangguhan, partisipasi masyarakat. Kapasitas dan ketangguhan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus terus ditingkatkan agar masyarakat mampu merespons dengan cepat potensi risiko bencana,” paparnya.

Perubahan Iklim Picu Terjadinya Cuaca Ekstrem

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan iklim menjadi faktor penguat cuaca ekstrem semakin sering terjadi di Indonesia. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es atau kekeringan panjang.

Situasi ekstrem ini ditambah dengan kerentanan lingkungan mengakibatkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, angin puting beliung, tanah longsor serta kebakaran lahan.

“Perubahan iklim telah memporak-porandakan keteraturan iklim dan cuaca di Indonesia. Berdampak serius pada keberlanjutan sektor pertanian dan perikanan, yang dapat berujung pada ancaman terhadap ketahanan pangan Indonesia,” kata Dwikorita.

Tiga Kota Besar Alami Suhu Terpanas

Berdasarkan data BMKG, sudah ada dua besar kota di Indonesia dengan suhu terpanas (lebih dari 35 derajat Celcius) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Kota-kota tersebut yakni Kota Fak-Fak, Papua, tepatnya pada 4 November 2017, yakni mencapai 43,1 derajat Celcius.

Selanjutnya masih di Kota Fak-Fak, Papua, tepatnya pada 19 November 2017, yakni mencapai 43,1 derajat Celcius. Kota berikutnya, Poso, Sulawesi Tengah pada 20 Desember 2015 yakni suhu mencapai 42,6 derajat Celcius.

Sementara tiga besar wilayah di DKI Jakarta dengan suhu terpanas (lebih dari 35 derajat Celcius) dalam 10 tahun terakhir yakni Jakarta Utara, tepatnya pada 15 November 2018 yang suhunya mencapai 37,8 derajat Celcius. Posisi kedua yaitu Jakarta Pusat pada 24 September 2014 yang suhunya mencapai 37 derajat Celcius, serta Jakarta Pusat, pada 10 Oktober 2014 yang suhunya mencapai 36,8 derajat Celcius.

Sejak tahun 2011 BMKG telah melakukan secara rutin dan berkelanjutan Sekolah Lapang Iklim. Program ini untuk memberikan pemahaman dan kemampuan bagi petani dan nelayan dalam membaca cuaca dan iklim. Selain itu juga agar mereka mampu beradaptasi secara tepat untuk meningkatkan produksi panen dan tangkapan ikannya.

“Lebih dari 22.600 petani dan nelayan dari berbagai penjuru tanah air telah dilatih dan diberdayakan. Namun tentunya itu belum cukup. Masih perlu lebih digencarkan secara lebih masif lagi program Sekolah Lapang ini,” ucapnya.

Cuaca Ekstrem Juga Melanda Belahan Dunia Lainnya

Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO) Prof. Petteri Taalas mengungkapkan, dampak perubahan iklim terlihat melalui cuaca yang lebih ekstrem di seluruh belahan dunia. Pada peringatan Hari Meteorologi Dunia tahun ini, WMO mencanangkan tema “Early Warning and Early Action”. Tema ini memiliki arti pentingnya peringatan dini dalam bertindak, mitigasi terkait bencana akibat cuaca, iklim dan kondisi air yang kini cenderung ekstrem.

“Kami melihat gelombang panas yang lebih intens dan kekeringan serta kebakaran hutan. Kami memiliki lebih banyak uap air di atmosfer, yang menyebabkan curah hujan ekstrem dan banjir mematikan. Lautan memicu badai tropis yang lebih kuat dan naiknya permukaan laut meningkatkan dampaknya,” tuturnya.

Laporan WMO tentang statistik bencana selama 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 11.000 bencana terkait dengan cuaca, iklim dan bahaya terkait air terjadi antara tahun 1970 hingga 2019. Artinya hampir sama dengan satu bencana per hari. Ada 2 juta kematian atau setara 115.000 kematian per hari. Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir dan biaya ekonomi melonjak. Perkiraannya hal ini akan terus berlanjut.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top