Mari Kenali Eutrofikasi yang Tengah Mengancam Teluk Jakarta

Reading time: 5 menit
eutrofikasi
Ilustrasi. Foto: pixabay.com

Oleh: Sarah Rosemery Megumi

Seiring berkembangnya pembangunan, meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan manusia dari waktu ke waktu, berbagai masalah lingkungan pun bermunculan, salah satunya adalah eutrofikasi. Eutrofikasi didefinisikan sebagai peningkatan unsur hara/nutrient (berupa fosfat, nitrat dan silikat) ke level yang sangat tinggi dan melampau batas yang dapat diterima oleh alam. Peningkatan unsur hara ini merangsang meledaknya populasi algae mikroskopik (fitoplankton) yang dikenal pula dengan fenomena pasang merah (Red Tide), baik populasi yang tidak beracun maupun yang beracun (Harmful Blooming Algae/HAB).

Kejadian marak algae merupakan masalah lingkungan serius karena dampaknya yang negatif terhadap ekosistem perairan, industri perikanan, dan kesehatan manusia. Beberapa dekade lalu, wilayah pesisir di seluruh dunia mengalami bencana dari meledaknya populasi mikro algae. Akibatnya, ribuan ton ikan mati dan kerugian yang ditimbulkan mencapai jutaan dolar. Kini, dampak ini terasa pula di Teluk Jakarta.

Dalam laporan penelitian pada tahun 2007 di Perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya, pakar oceanografi dan ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc., menjelaskan bahwa terdapat dua penyebab utama eutrofikasi. Pertama, meningkatnya jumlah penduduk yang sangat tinggi dari tahun ke tahun. Kedua, pembukaan lahan yang cepat namun tidak tertata baik dan tidak ramah lingkungan untuk berbagai keperluan pembangunan.

Tingginya jumlah penduduk (>20 juta jiwa) dan tingkat pembukaan lahan untuk pembangunan tidak tertata, tidak terencana dan tidak ramah lingkungan di kota Jakarta berikut kota penyangganya (hinterland), seperti Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi, serta banyaknya sungai yang melintasi kawasan pertanian, perindustrian, perkotaan di daerah ini menjadi ancaman serius baik bagi lingkungan darat maupun lingkungan perairan seperti Teluk Jakarta. Menurutnya, bahan pencemar yang terus-menerus masuk ke Teluk Jakarta dengan tingkat yang makin tinggi setiap tahunnya akan mengakibatkan kualitas perairan di teluk ini semakin menurun.

“Semakin tinggi jumlah penduduk dan pembukaan lahan secara tidak ramah lingkungan terjadi, maka eutrofikasi akan terus berlangsung dan intensitasnya semakin kuat,” kata Sam kepada Greeners.

Kematian Ikan Massal

Kematian ikan massal di Teluk Jakarta sebelumnya pernah terjadi pada tahun 2004, 2005, dan 2007 berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Pada kasus kematian massal ikan di Teluk Jakarta tahun 2004 dan 2005, koran Kompas (2004) dan Sinar Harapan (2004) melaporkan adanya dampak sosial dari kasus ini. Kedua harian ini menuliskan bahwa banyak nelayan kehilangan mata pencaharian disebabkan hasil tangkapan mereka tidak laku dijual, karena masyarakat takut memakan ikan dan produk laut lainnya yang berasal dari Teluk Jakarta.

Di sisi lain, laporan Sam tahun 2007 menjelaskan bahwa sejauh ini tidak ada catatan penduduk di sekitar Jabodetabek yang sakit atau meninggal akibat memakan produk laut dari perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya yang diakibatkan racun kuat dari mikro alge.

Tahun 2015 lalu, kejadian kematian ikan secara massive kembali muncul di Teluk Jakarta, tepatnya di pantai Ancol. Diduga penyebabnya adalah meledaknya jumlah populasi fitoplankton jenis Coscinodiscus spp yang menyerap oksigen sangat banyak sehingga kadar oksigen terlarut menipis dan memengaruhi keberadaan ikan-ikan di perairan tersebut.

Berdasarkan tulisan ilmiah dari pakar kelautan dan akademisi Dr. Anugerah Nontji, kasus marak algae yang sebenarnya terjadi mungkin lebih banyak lagi tetapi luput dari perhatian dan tidak dilaporkan. Kasus ini pun tidak hanya terjadi di Teluk Jakarta. Beberapa laporan menyebutkan bahwa kejadian serupa pernah terjadi di berbagai daerah Indonesia pada kurun tahun yang berbeda-beda.

Eutrofikasi juga menimbulkan beberapa kejadian marak algae dari jenis mikro algae berbahaya, diantaranya Pyrodinium bahamense var. compressum dan Gymnodinium bahamense, yang menyebabkan kematian pada manusia. Kejadian ini pernah terjadi di Lewotobi, Nusa Tenggara Timur, tahun 1983 dan juga menyerang Teluk Ambon pada tahun 1994. Hingga sekarang ini hanya sedikit anggota masyarakat yang sadar akan ancaman bahaya ledakan populasi mikro algae ini.

(Selanjutnya…)

Top