Kebutuhan Lahan, Peningkatannya Berdampak pada Deforestasi dan Perubahan Iklim

Reading time: 4 menit
perubahan iklim

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nur Masripatin. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Tren yang menarik dari studi ini dapat diamati pada tahun 2012-2013 ketika kehilangan hutan di dalam perkebunan kelapa sawit menurun secara signifikan dan bertahan di tingkat yang sama hingga tahun 2015. Sebaliknya, kehilangan hutan di dalam konsesi penebangan kayu selektif (Hak Pengusahaan Hutan/HPH) terus meningkat pada tahun 2000-2015 dan untuk pertama kalinya pada tahun 2015, kehilangan hutan di dalam konsesi penebangan selektif melampaui kehilangan hutan di dalam konsesi kelapa sawit. Kehilangan ini sebagian besar terjadi di Kalimantan dan Papua.

Padahal, berdasarkan peraturan yang berlaku, pembukaan hutan tidak boleh terjadi di dalam konsesi penebangan selektif, di mana hanya pohon dengan diameter setinggi dada (4,5 kaki di atas tanah) minimal 50 cm (19,7 inci) dan yang memiliki nilai komersial (seperti Meranti) saja yang diizinkan untuk dipanen.

Studi ini juga menunjukkan bahwa kehilangan hutan di luar area konsesi menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Sebanyak 3,6 juta hektar hutan hilang sejak tahun 2000, hampir setara dengan tiga kali luas kota New York. Sebagian dari kehilangan hutan ini berasal dari pemegang izin konsesi yang melakukan penanaman di luar area konsesi mereka atau dari penebangan kayu yang berlebihan. Kehilangan hutan di luar area konsesi dapat pula disebabkan oleh pekebun kelapa sawit yang memproduksi hampir 40 persen dari total produksi kelapa sawit nasional.

Angka pengurangan tutupan hutan diperkecil

Saat ini, kata Nur, angka pengurangan tutupan hutan yang pemerintah masukkan dalam dokumen level referensi emisi hutan (FREL) dalam skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) masih di angka 920 ribu hektare per tahun hingga 2020.

“Nantinya baru kita tekan ke 820 ribu sebelum masuk ke skema pasca-2030 yang menargetkan pengurangan tutupan lahan tidak lebih dari 450 ribu hektare per tahun. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor lahan, alih fungsi lahan, serta kehutanan yang menjadi sektor utama dalam Dokumen NDC. Pengurangan ini tidak boleh berasal dari hutan alam dan harus masuk rencana pembangunan yang disepakati sehingga tidak ada lagi pengurangan tutupan kawasan hutan yang dilakukan secara ilegal,” terangnya.

Oleh karenanya, Nur menyatakan bahwa peran pelaku usaha sangat penting seperti juga peran pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat adat. Menurutnya, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) bisa berkontribusi melalui kegiatan pengelolaan hutan produksi lestari sebagai bisnis utamanya. “Caranya itu ya dengan mengimplementasikan kegiatan REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan),” katanya.

Mengutip dari Greeners.co (3 Maret 2017), Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK Ida Bagus Putera Prathama mengungkapkan contoh kontribusi nyata IUPHHK dalam pengurangan emisi adalah dengan penerapan konsep penebangan rendah dampak (Reduce Impact Logging-Carbon). RIL-C, katanya, akan memperketat kegiatan pembalakan sehingga meminimalkan dan mencegah kerusakan tanah maupun tegakan pohon yang tertinggal.

Perencanaan pembalakan menjadi salah satu kunci, bahkan titik rebah pohon yang dipanen pun direncanakan rinci untuk menghindari kerusakan anakan pohon. Termasuk yang direncanakan mendetail adalah proses penyaradan pohon. Penerapan RIL-C mampu mengurangi kerusakan hutan hingga 50 persen.

“Jika emisi berjalan sesuai dengan business as ussual, maka pelepasan emisi bisa mencapai 51 ton setara karbon, dengan RIL-C bisa berkurang hingga 40%. Kami akan siapkan ketentuan agar semua IUPHHK menerapkan RIL-C,” kata Putera.

Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto, menyatakan pengelolaan HTI memang selayaknya patut diperhitungkan sebagai kontribusi pengurangan emisi. Dia menambahkan, kegiatan restorasi ekosistem dan silvikultur intensif juga berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim.

“Meski demikian, perlu insentif agar kegiatan-kegiatan yang berdampak pada mitigasi perubahan iklim bisa dipraktikan lebih luas mengingat tingginya investasi yang diperlukan. Selain itu, tantangannya adalah menyajikan data yang jelas lebih akurat,” kata Purwadi. (*)

Top