Kematian Gajah Tanpa Gading Tanda Eksploitasi Satwa Masih Tinggi

Reading time: 3 menit
Matinya gajah tanpa gading menjadi tanda ekploitasi satwa liar masih terjadi. Foto: Freepik
Matinya gajah tanpa gading menjadi tanda ekploitasi satwa liar masih terjadi. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Satwa liar gajah di Indonesia kembali ditemukan mati tanpa gading. Peneliti sekaligus aktivis lingkungan, Rheza Maulana mengatakan, salah satu faktor penyebab kejadian tersebut adalah masih tingginya kesenangan eksploitasi satwa liar bagi segelintir orang.

Belakangan ini, kematian gajah dengan kondisi tanpa gading terus terjadi. Misalnya, pada pekan lalu seekor gajah sumatra mati di area perkebunan di wilayah Kabupaten Aceh Utara, Minggu (24/3). Berdasarkan dugaan yang ada, gajah tersebut sengaja dibunuh dan gading gajah pun diambil.

Hal serupa juga terjadi pada Gajah Rahman yang mati pada Januari 2024 lalu di Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dengan kondisi gading yang hilang. Gajah tersebut juga diduga mati akibat dibunuh dengan racun.

BACA JUGA: Kelelawar Putih Honduras, Si Putih Kecil yang Makin Langka

Rheza menilai hal ini merupakan bencana besar bagi konservasi satwa liar di Indonesia dan perlu menjadi perhatian semua pihak, baik pemerintah, lembaga konservasi, dan juga masyarakat.

“Sebesar apa pun pemerintah berupaya, tapi kalau minat mengeksploitasi satwanya lebih tinggi, akan terus kesulitan. Maka, fokusnya bukan hanya menambah upaya pengawasan satwa, tapi juga menurunkan eksploitasi satwa itu sendiri,” kata Rheza kepada Greeners lewat keterangan tertulis, Kamis (28/3).

Ia menambahkan, semua pihak perlu mengubah pola pikir untuk tidak melihat satwa liar dan bagian tubuhnya sebagai komoditas mewah dan simbol status. Kemudian, anggap satwa liar sebagai komponen alam yang harus dijaga di alam, bukan dimiliki.

Matinya gajah tanpa gading menjadi tanda ekploitasi satwa liar masih terjadi. Foto: Freepik

Matinya gajah tanpa gading menjadi tanda ekploitasi satwa liar masih terjadi. Foto: Freepik

Permintaan Bagian Tubuh Satwa Liar Masih Tinggi

Sementara itu, perburuan satwa saat ini masih terus berlanjut. Namun, lanjut Rheza, perlu memikirkan jenis dan skalanya. Misalnya, masyarakat lokal yang masuk hutan berburu satwa, seperti babi hutan atau memancing ikan di sungai hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sebab, mereka terdampak kemiskinan.

“Bisa saja karena memang mereka tidak paham hukum, mungkin berburu di wilayah yang tidak boleh berburu. Karena sifatnya perorangan juga tentu peralatan berburu seadanya, dan yang mereka buru juga jenis dan kuantitasnya terbatas,” tambah Rheza.

Namun, berbeda halnya jika perburuan satwa liar seperti gajah yang tergolong satwa liar dilindungi. Apalagi, gading gajahnya mereka ambil, sementara bangkainya mereka tinggal hingga membusuk. Artinya, mereka memang mengincar gading sebagai komoditas mewah. Dengan demikian, perburuan satwa liar masih marak.

“Kenapa masih terjadi? Kemungkinan karena permintaannya masih ada. Masih ada pihak-pihak yang untung dari perdagangan bagian tubuh satwa liar seperti gading gajah. Masih ada pedagangnya, dan masih ada pembelinya. Jadi, selama permintaan ini masih ada, ya, perburuan akan terus ada juga,” tegas Rheza.

Perlu Meningkatkan Penegakan Hukum

Menurut Rheza, perlu meningkatkan upaya dalam melindungi satwa liar, penegakan hukum, serta mencegah perburuan dengan mengerahkan jagawana, polisi hutan, dan unit proteksi. Lalu, semisal terjadi perburuan, perlu usut tuntas dan memberi efek jera.

“Tujuannya agar ke depannya para pemburu tidak berani nekat berburu lagi, dan kolektor bagian tubuh satwa liar juga tidak nekat memilikinya,” kata Rheza.

BACA JUGA: Burung Paok Pancawarna, Si Cantik yang Pemalu

Rheza juga menegaskan perlu membentuk kesadaran kolekif untuk tidak berburu dan tidak ingin memiliki satwa liar. Sebab, hingga saat ini masih ada pejabat pemerintah yang kedapatan memeilihara satwa liar, baik yang hidup dan mati dalam bentuk awetan offset. 

“Baik itu legal atau ilegal, tapi intinya selama satwa liar dan bagian tubuhnya masih dianggap sebagai barang mewah dan simbol status. Apalagi oleh orang-orang penting dan terkenal, satwa liar akan selalu terancam dengan perburuan,” ungkapnya.

Hentikan Konten Eksploitasi Satwa

Ancaman yang kini membahayakan satwa liar adalah maraknya konten yang mernomalisasi eksploitasi satwa di media sosial. Hal ini bisa menimbulkan dampak buruk, seperti memunculkan pembeli baru yang tentunya akan ada juga pemburu baru.

“Ini yang harus kita ubah ke depannya. Jangan sampai ulah perilaku kita sendiri yang justru membahayakan satwa liar. Kita harus buat gerakan untuk memperbaiki keadaan dan kita semua punya peran,” ujar Rheza.

Menurut Rheza, masyarakat perlu bijak dalam menggunakan media sosial, dengan menolak konten-konten yang menormalisasi eksploitasi hewan dan berhenti mengikuti akun-akun yang menganggap mengoleksi bagian tubuh hewan liar sebagai sebuah kemewahan. Bahkan, jika memungkinkan, laporkan konten dan akun tersebut agar media sosial terlindungi dari eksploitasi, lanjutnya.

“Termasuk juga laporkan kalau menemukan tindak jual beli bagian tubuh satwa liar di e-commerce. Harapannya akan memunculkan kesadaran dan kebiasaan kolektif untuk melestarikan satwa. Ciptakanlah dunia di mana satwa liar itu tidak perlu dilindungi, karena tidak ada yang ingin menyakiti,” ujar Rheza.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top