Koalisi Masyarakat Sipil Ajukan Gugatan Soal Omnibus Law

Reading time: 2 menit
Tolak Omnibus Law
Massa aksi Hari Perempuan Sedunia 2020 menyerukan penolakan terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu, 8 Maret 2020. Foto: www.greeners.co/Devi Anggar Oktaviani

Jakarta (Greeners) – Koalisi Masyarakat Sipil menggugat Surat Presiden mengenai Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan tersebut menjadi upaya hukum lantaran presiden dan lembaga legislatif dinilai mengabaikan suara dan kepentingan masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, tuntutan ini dilakukan untuk mencegah adanya praktik pembuatan kebijakan yang prosesnya disembunyikan dari masyarakat.

“Kami ingin menghentikan praktik Omnibus Law ini supaya tidak ada lagi praktik serupa. Karena tampaknya ini akan menjadi model yang terus dilanjutkan dan menjadi template peraturan ke depannya,” ujar Asfin dalam konferensi pers daring Menggugat Omnibus Law, Minggu, (03/05/2020).

Baca juga: Belajar Ketahanan Pangan dari Papua

Asfin menjelaskan bahwa model yang dimaksud di antaranya menyembunyikan draf dari masyarakat dan tidak melibatkan orang-orang yang terdampak langsung seperti buruh, petani, maupun pekerja. Keputusan Mahkamah Konstitusi, kata dia, juga dihiraukan karena pasal-pasal yang dinyatakan tidak mengikat dimasukkan kembali dan dianggap tidak ada.

Dari 54 putusan MK, sebanyak 27 putusan yang berkaitan dengan undang-undang diubah di dalam RUU Cipta Kerja. Pemerintah juga tidak menindaklanjuti tafsir konstitusional dari putusan MK dalam menyusun ruu tersebut. “Hanya menindaklanjuti sebagian tafsir dan menghidupkan kembali pasal yang sudah dibatalkan oleh MK,” ucapnya.

Menurut Asfin, pemerintah telah melanggar hukum karena melangkahi ketentuan konstitusi. Dalam Undang Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berarti diperintah oleh hukum. “Presiden merupakan kepanjangan tangan dari hukum, bukan sebaliknya,” ujarnya.

Lubang Tambang

RUU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menerapkan aturan baru yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), salah satunya mengenai Analisis Masalah Dampak Lingkungan. Penghapusan Amdal dalam Omnibus Law berpotensi meningkatkan kerusakan lingkungan. Foto: shutterstock.com

Sementara dalam pembentukan Omnibus Law, Asfin menilai pemerintah mengatur hukum melalui penyerahan dokumen ruu ke DPR. “Dengan menyerahkan itu presiden mengajak DPR melakukan persengkongkolan jahat untuk melanggar konstitusi,” ujarnya.

Jika RUU Cipta Kerja disahkan dan diberlakukan, dampaknya tidak hanya pada kerusakan lingkungan hidup, tetapi juga dapat merenggut hak-hak rakyat di berbagai sektor seperti buruh, petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, hiingga kelompok rentan.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah mengatakan Omnibus Law dibuat hanya untuk mendorong investasi yang merupakan kepentingan pengusaha. Menurutnya, risiko-risiko lingkungan hidup diabaikan, sebab, terdapat upaya menghapus maupun menambahkan sejumlah pasal di dalam undang-undang. Misalnya pada Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, dan termasuk UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Baca juga: Pemerintah Berencana Bangun Fasilitas Pengolah Limbah B3 Tambahan

Menurut Merah, RUU Cipta Kerja menghilangkan izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan menggantinya dengan kategori baru, yakni risiko tinggi, sedang, dan rendah. Ia menilai ini menjadi masalah karena pertanggungjawaban perusahaan hanya pada risiko tinggi. Sedangkan pencemaran dimulai dari risiko rendah dan daya rusaknya mengalir serta meluas.

“Di sektor pertambangan 34 persen daratan kepulauan Indonesia sudah tercemar lubang bekas tambang. Kalau izin lingkungan dihilangkan dan Amdal dikurangi, laju kerusakan semakin tinggi dan lebih parah lagi,” ujar Merah.

Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top