Kualitas Taman Nasional, Pengelola dan Warga Diminta Bersinergi

Reading time: 2 menit
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Foto: Schristia/flickr.com

Jakarta (Greeners) – Keberlangsungan pengelolaan Taman Nasional tidak pernah lepas dari keterlibatan masyarakat setempat yang tinggal dan hidup dalam kawasan. Baik buruknya kondisi Taman Nasional juga seringkali diukur melalui kesejahteraan hidup masyarakat di dalamnya.

Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Tachrir Fathoni mengatakan, dalam pola pengelolaan Taman Nasional saat ini, sinergi antara pengelola Taman Nasional dan masyarakat setempat harus terbangun dengan baik karena pengelolaan Taman Nasional yang baik adalah yang benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakatnya.

“Masyarakat dengan pola yang sekarang memang sudah harus sinergi dengan pengelola Taman Nasional. Dalam arti bahwa Taman Nasional yang baik adalah yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya,” ujar Tachrir kepada Greeners, Jakarta, Minggu (15/05).

Mengenai akses masyarakat ke Taman Nasional, ia mengatakan semua itu tergantung dari potensi masing-masing Taman Nasional. Ia mencontohkan seperti Taman Nasional Gunung Rinjani. Di sana, kata dia, Taman Nasional Rinjani memberikan keleluasaan bagi masyarakat setempat untuk mengelola trek pendakian. Sehingga, masyarakat pun bisa mendapatkan penghasilan dari pengelolaan trek wisata tersebut.

“Jadi tergantung potensi di masing-masing Taman Nasional. Tapi intinya kita ingin memberikan akses pada masyarakat untuk bisa terlibat dalam pengelolaan Taman Nasional dan pemanfaatan sumber dayanya. Nantinya, yang digunakan pun pendekatan pola wisata, pola rehabilitasi dan pola usaha seperti Usaha Kecil Menengah (UKM),” katanya.

Di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), lanjutnya, masyarakat bisa menyewakan kendaraan Jeep mereka bagi wisatawan atau pendaki yang datang. Hanya saja, memang masih ada perselisihan antara masyarakat yang tinggal di dalam kawasan Taman Nasional dengan masyarakat di luar kawasan yang mengklaim mendapat izin dari Kementerian Pariwisata.

“Itu masalah yang bisa dibicarakan yang intinya pendapatan masyarakat bisa didapat dari efek domino wisatawan apabila masyarakatnya kreatif dalam menjual kekhasannya seperti budayanya, UKM-nya, kulinernya, itu akan memberikan multiplayer effect. Pendampingan masyarakat seperti itu sekarang konsepnya bisa siapa saja. KLHK bisa, Kementerian Pariwisata bisa, Pemda juga bisa. Karena sekarang konsepnya integrated, makanya ada tim yang dibentuk oleh Menko untuk Koordinasi pengembangan pariwisata nasional,” jelasnya lagi.

Oneng Setyaharini, Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Pariwisata pada konferensi pers Sapu Gunung Indonesia akhir April lalu juga menyatakan kalau Kemeneterian Pariwisata telah memiliki sendiri program-program yang melibatkan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional.

Beberapa di antaranya seperti gerakan Sadar Wisata dan Sapta Pesona yang dibagi menjadi tujuh komponen dasar pembangunan pariwisata. Di antaranya, destinasi wisata harus bersih, kondusif dari keamanan, kesejukan, dan masyarakat lokalnya ramah pada wisatawan.

“Kami sudah kumpulkan 400 masyarakat di daerah destinasi dan ada sosialisasi tentang apa itu Sapta Pesona. Dengan adanya program Jambore Sapu Gunung, ini bisa menjadi kekuatan bagi kami di destinasi pariwisata, dimana pemerintah sedang konsentrasi mengembangkan 10 destinasi, salah satunya Bromo,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top