Lima Perusahaan Terbukti Menjadi Polutan Sachet Terbanyak

Reading time: 3 menit
Sebanyak lima perusahaan terbukti menjadi polutan sachet terbanyak. Foto: AZWI
Sebanyak lima perusahaan terbukti menjadi polutan sachet terbanyak. Foto: AZWI

Jakarta (Greeners) – Jaringan masyarakat sipil di Indonesia telah melaksanakan brand audit di 34 titik lokasi. Mereka berhasil mengumpulkan sampah sachet sebanyak 9.698. Hasilnya, terdapat lima produsen pencemar sachet terbanyak, yaitu Wings (1.251), Salim Group (672), Mayora Indah (629), Unilever (603), PT Santos Jaya Abadi (454).

Kemasan sachet menawarkan kenyamanan dan harga murah. Secara global, sachet terjual per tahun kurang lebih sebanyak 855 miliar. Namun, sampah sachet menjadi beban lingkungan karena karakter kemasannya yang fleksibel terdiri dari berbagai jenis plastik.

Lapisan foilnya membuat sulit untuk dikelola dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah. Seringnya, sachet berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dan mencemari badan-badan air seperti sungai hingga pantai.

BACA JUGA: Hari Bumi, Saatnya Bersama Bebaskan Planet dari Lilitan Plastik

Sepanjang Oktober 2023 hingga Februari 2024, jaringan gerakan Break Free From Plastic (BFFP) melakukan audit merek yang berfokus pada sampah kemasan sachet. Terdapat 25 organisasi di 50 titik yang tersebar di 4 negara, yaitu Indonesia, Filipina, Vietnam, dan India.

Di Indonesia, brand audit dilakukan oleh Greenpeace Indonesia, Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Trash Hero Indonesia, dan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB).

“Tingkat keresahan kami terhadap sampah plastik, khususnya kemasan sachet, semakin mendalam dengan temuan audit merek sachet. Ketika nama-nama produsen yang sama terus muncul, kembali memperlihatkan sebuah paradoks yang menggelisahkan,” ujar Koordinator Audit Merek Ecoton, Alaika Rahmatullah di Jakarta, Selasa (30/4).

Menurut Alaika, produsen perlu bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari kegiatan bisnis mereka. Selain itu, temuan audit merek ini juga penting sebagai evaluasi. Hal itu untuk mempertimbangkan langkah-langkah produsen yang lebih bertanggung jawab ke depannya. Sehingga, produsen tidak lagi menggunakan kemasan sachet.

Indonesia Timur Rentan Polusi Plastik

Indonesia bagian timur merupakan wilayah yang rentan terhadap polusi plastik. Hal ini terjadi karena di wilayah sana terdiri dari pulau-pulau kecil. Selain itu, layanan pengumpulan sampah sebagian besar hanya ada di ibu kota dan kabupaten. Sementara, layanan pengumpulan sampah di beberapa daerah lainnya masih terbatas. 

Kasus di Indonsia bagian timur adalah gambaran jelas bahwa persoalan yang timbul akibat sampah sachet, tidak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah dan konsumen. Persoalan ini juga menjadi tanggung jawab produsen.

“Jaringan relawan kami di Indonesia timur, di daerah NTT dan Ambon, juga menemukan sachet dalam kegiatan yang mereka lakukan,” ujar Koordinator Trash Hero Indonesia, Rima Putri Agustina.

Sebanyak lima perusahaan terbukti menjadi polutan sachet terbanyak. Foto: AZWI

Sebanyak lima perusahaan terbukti menjadi polutan sachet terbanyak. Foto: AZWI

Produsen Wajib Kurangi Sampah

Tanggung jawab produsen atas sampah dan secara khusus tentang sachet, tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Peraturan itu mewajibkan produsen, salah satunya manufaktur, untuk membuat peta jalan pengurangan sampah dari kemasannya sebesar 30%.

Saat ini tercatat ada sebanyak 18 produsen yang melakukan pilot project dari 42 produsen yang telah mempunyai dokumen peta jalan.

Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 ini akan menghapus kemasan sachet di bawah 50 ml. Tetapi, dengan kondisi saat ini, apabila tanpa adanya komitmen pengurangan produksi dan transparansi progress peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, sampah sachet akan terus mencemari dan membebani lingkungan.

Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar mengungkapkan dari 10 produsen pencemar terbanyak, hanya Unilever dan Danone melalui PT Tirta Investama yang mengirimkan dokumen peta jalan pengurangan sampahnya.

Namun, hingga saat ini tidak ada transparasi dan komitmen untuk mengurangi produksi plastik. Progress untuk mencapai pengurangan sebesar 30% di tahun 2029 juga belum ada.

“Jika cara ini terus produsen lakukan, maka krisis sachet tidak akan berakhir,” terang Ibar.

Pentingnya Solusi Guna Ulang

Sementara itu, selain pengurangan produksi kemasan sachet, upaya ini juga perlu langkah bertahap mendukung sistem guna ulang sebagai solusi mengatasi krisis sachet. Saat ini, bisnis-bisnis sistem guna ulang mulai berjalan seperti Kecipir, Alner, dan Hepicircle.

Langkah bisnis guna ulang ini menjadi solusi nyata. Seharusnya, guna ulang bisa produsen pilih daripada hanya berfokus pada solusi semu.

Apalagi, saat ini sudah ada regulasi yang mendukung sistem guna ulang. Regulasi itu tertuang pada peraturan BPOM nomor 12 tahun 2023 dan standar PR3. Hal ini untuk menciptakan kerangka kerja bisnis guna ulang yang aman dan dapat diandalkan.

BACA JUGA: Warga Muara Gembong: Bebaskan Desa dari Sampah Plastik!

Di sisi lain, bisnis refill dan reuse oleh masyarakat adalah contoh bagaimana sistem yang sama dapat produsen kembangkan. Namun, bisnis refill masyarakat ini tidak bisa menyelesaikan persoalan sampah sachet dari produsen besar. Sebab, kondisi regulasi dan mekanisme perizinan di Indonesia tidak mendukung pengemasan ulang.

“Dengan demikian, pemerintah perlu lebih tegas meregulasi para produsen. Hal itu sekaligus pada saat yang sama, menciptakan kondisi yang kondusif agar bisnis refill masyarakat ini bisa berkembang,” kata Peneliti YPBB, Fictor Ferdinand.

Kendati demikian, para produsen perlu menjadi pionir untuk solusi yang sesungguhnya yaitu refill dan reuse. Sehingga, tidak lagi menghasilkan sampah yang masih harus konsumen olah.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top