Makan Bergizi Gratis Perlu Diimbangi dengan Pengelolaan Sampah Organik

Reading time: 2 menit
Ilustrasi makan bergizi gratis. Foto: DLH DKI Jakarta
Ilustrasi makan bergizi gratis. Foto: DLH DKI Jakarta

Jakarta (Greeners) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berpotensi besar menghasilkan timbulan sampah organik yang berlebihan. Oleh karena itu, program ini perlu diimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik agar sampah organik dapat terkelola dengan tepat dan tidak berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat bahwa dengan target pemerintah agar sekitar 17 juta siswa menerima MBG pada 2025, implementasi program ini berpotensi menghasilkan sampah sisa makanan sekitar 25-50 gram per siswa. Jika dihitung, sampah yang dihasilkan dapat mencapai 425 hingga 850 ton per hari.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) telah melakukan tinjauan dan memberikan arahan melalui surat edaran menteri kepada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) terkait pengelolaan sampah organik ini.

BACA JUGA: DLH DKI Jakarta Siap Kelola Food Waste Makan Bergizi Gratis

Hanif juga menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan monitoring di beberapa lokasi di seluruh Indonesia. Hal itu untuk memastikan bahwa pengelolaan sampah ini berjalan dengan baik.

“Kami akan menjadikan beberapa lokasi sebagai pilot project dan akan terus melakukan kontrol. Kami juga akan fasilitasi dan arahkan pengelolaan akhir sampahnya,” ujar Hanif di Tangerang, Senin (13/1).

Ia melihat bahwa potensi sampah yang timbul dari program MBG sejauh ini adalah food waste atau sisa makanan. Menurut Hanif, masalah utama terletak pada sisa makanan yang tidak habis. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, jika terjadi setiap hari, akumulasi sampahnya bisa menjadi signifikan.

Kendati demikian, Hanif menekankan pentingnya pengelolaan sisa makanan ini dan memastikan pengelolaan berjalan dengan baik.

Pengawasan Satu Bulan

Pada tahap awal untuk mengawal program ini, KLH/BPLH akan melakukan pengawasan selama satu bulan. Hal itu guna membangun budaya pengelolaan sampah pada program MBG ini. Setelah itu, mereka akan memantau dan mengevaluasinya.

“Biasanya, evaluasi kami lakukan setiap bulan. Sampah yang terakumulasi pasti akan meningkat. Namun, kami akan terus mengontrolnya bersama-sama,” ujar Hanif.

Hanif menambahkan bahwa menyelesaikan sampah organik tidak sesulit mengelola sampah anorganik seperti plastik yang memerlukan alat lebih modern. Sampah organik bisa terkelola dengan alat yang sederhana.

“Kami akan mendukung dan memfasilitasi semua satuan pelaksana untuk mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan sampah yang sudah ditetapkan dalam kegiatan makan bergizi gratis,” tegasnya.

Peran Sekolah dalam Makan Bergizi Gratis

Manajer Edukasi Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Alaika Rahmatullah mengungkapkan bahwa sekolah harus melakukan perannya dalam mengelola sampah organik. Hal itu bisa mereka lakukan dengan memiliki pengelolaan sampah organik skala sekolah.

“Sekolah bisa menggunakan atau mengadaptasi teknologi seperti bata terawang atau komposter lainnya. Berdasarkan pengalaman kami di sekolah-sekolah dampingan, metode pengelolaan sampah organik tersebut sangat efektif dalam mengurangi sampah organik yang berakhir di TPA,” kata Alaika kepada Greeners, Rabu (15/1).

BACA JUGA: Dorong Wadah Guna Ulang dalam Program Makan Bergizi Gratis

Selain itu, untuk meminimalisasi sampah organik, para guru di sekolah juga perlu mendidik siswa untuk menghabiskan makanannya. Namun, menurutnya, ada strategi lain yang dapat sekolah lakukan, yaitu dengan menerapkan sistem prasmanan.

Sistem tersebut bisa mendorong siswa bisa mengambil makanan secukupnya. Menurut Alaika, hal ini penting karena setiap siswa memiliki porsi yang berbeda. Pengambilan secara prasmanan juga lebih efektif untuk meminimalisasi sampah makanan.

Ia juga mengingatkan agar penggunaan wadah makanan menggunakan wadah guna ulang. Hal itu untuk menghindari timbulan sampah plastik sekali pakai.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top