Mari Kenali Eutrofikasi yang Tengah Mengancam Teluk Jakarta

Reading time: 5 menit
eutrofikasi

Ilustrasi. Foto: pixabay.com

Marak Algae

Istilah ‘marak algae’ yang diterjemahkan dari Harmful Alga Bloom (HAB) digunakan untuk menjelaskan perusakan yang disebabkan oleh mikro alge (fitoplankton/ diniflagelata) yang dapat membunuh ikan, membuat kerang-kerangan menjadi beracun, dan menyebabkan banyak masalah lain yang timbul di wilayah pesisir.

Kondisi eutrofik memungkinkan mikro algae tumbuhan berkembang biak secara pesat (blooming). Sederhananya, jika suatu tumbuhan (dalam hal ini adalah tumbuhan renik/micro algae-fitoplankton) diberikan pupuk (unsur hara/nutrient) dalam jumlah yang sangat tinggi, maka populasinya (fitoplankton) akan meledak. Limbah nutrisi sendiri bisa berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri, industri, detergen, pupuk pertanian, limbah manusia, dan peternakan.

Wilayah pesisir merupakan ekosistem yang sangat produktif sebagai daerah asuhan, khususnya bagi ikan, krustase, moluska bernilai ekonomis penting, disamping banyak lagi flora dan fauna lainnya. Meskipun demikian, bukti kuat menunjukkan bahwa proses eutrofikasi telah terjadi di wilayah pesisir di seluruh dunia akibat banyaknya aktifitas manusia yang meningkatkan kecepatan pelepasan unsur hara/nutrient (nitrogen dan fosfat) yang sangat tinggi ke dalam ekosistim perairan, sehingga alam tidak mampu lagi beradaptasi (Coelho et al., 2004).

Jumlah jenis (species) mikro algae yang terlibat dalam kejadian marak alge juga meningkat, lebih banyak toksin (racun) yang diketahui, lebih banyak sumberdaya perikanan yang kena imbasnya, serta dampak ekonomi dari kejadian marak alge juga meningkat dari sebelumnya.

eutrofikasi

Gambar: Alur dampak yang ditimbulkan marak algae akibat euttrofikasi. Sumber: diadopsi dari laporan Wouthuyzen (2007)

Menurut Sam Wouthuyzen, secara umum dampak dari eutrofikasi yaitu pertama, berkurangnya nilai-nilai keindahan tempat pariwisata di wilayah pesisir karena menurunnya kecerahan perairan, meningkatnya produksi lendir, dan bau busuk akibat marak alge; kedua, berbahaya bagi kesehatan masyarakat, dan bahkan berakibat fatal (kematian) jika saat marak algae didominasi oleh jenis yang memiliki racun kuat (dinoflagelata), Paralytic Shellfish Poison (PSP), karena racun tersebut terakumulasi pada hewan laut, seperti kerang-kerangan, ikan, kepiting udang dan organisme lainnya yang kemudian dimakan manusia, mamalia laut, burung laut.

Ketiga, kematian masal ikan dan berkurangnya keanekaragaman biota dasar yang disebabkan sangat rendahnya kadar oksigen (< 2ml/l) di dasar perairan (hypoxic) setelah kejadian marak algae. Terakhir, hilangnya mata pencaharian masyarakat nelayan, baik nelayan tangkap maupun nelayan budidaya, karena pada saat marak alge masyarakat takut makan produk dari laut (seafood).

Dari banyak dampak yang ditimbulkan marak alge akibat eutrofikasi, kematian massal ikan merupakan dampak yang banyak dilaporkan dan sangat terasa secara ekonomi bagi sektor perikanan. Lendir dari alge ini menutupi insang ikan sehingga menyebabkan kematian massal ikan. Ikan liar dan ikan keramba mati selama kejadian marak alge. Mekanisme kematian ikan belum dapat dimengerti secara jelas, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa produksi lendir dapat menghasilkan racun yang membunuh ikan.

Sam juga merangkum beberapa hasil penelitian ilmuwan luar terkait dampak yang ditimbulkan marak alge akibat eutrofikasi. Seperti di Hongkong pada tahun 1998 dan Peru tahun 2006, dimana di kedua negara ini kejadian marak alge terburuk yang menghancurkan ribuan ton stok ikan yang dibudidaya. Akibat kejadian ini petani ikan menyatakan kerugian sebesar puluhan hingga ratusan juta dollar.

Perubahan Iklim Menyebabkan Eutrofikasi?

Hingga saat ini penelitian terkait korelasi antara pemanasan global dengan eutrofikasi di Indonesia belum dikaji secara mendalam. Umumnya fenomena coral bleaching (pemutihan terumbu karang) ataupun ocean acidification (asidifikasi laut/pengasaman laut), merupakan penelitian yang paling banyak dihubungkan dengan masalah perubahan iklim atau pemanasan global di Indonesia.

Menurut Karl Havens, Professor dari University of Florida, dalam kajiannya yang dikutip dalam edis.ifas.ufl.edu, dapat diindikasikan bahwa eutrofikasi akan semakin buruk jika gejala perubahan iklim menyebabkan suhu/temperatur air di wilayah danau atau estuari semakin tinggi (hidrologi), seperti yang diprediksikan terjadi di banyak wilayah di dunia.

Menurut laman lipi.go.id, timbulnya blooming algae merugikan kehidupan organisme yang ada di perairan. Penumpukan bahan nutrisi menjadi ancaman kehidupan ikan di perairan pada saat musim pancaroba. Disisi lain, adanya peningkatan suhu udara, pemanasan sinar matahari, dan tiupan angin kencang akan menyebabkan terjadinya gotakan air di perairan. Hal itu menyebabkan arus naik dari dasar perairan yang mengangkat massa air yang mengendap. Massa air yang membawa senyawa beracun dari dasar danau atau laut mengakibatkan kandungan oksigen di badan air berkurang. Rendahnya oksigen di air itulah yang menyebabkan kematian ikan secara mendadak.

Bagaikan ‘bom waktu’, masalah ini dapat terjadi kapan saja. Nontji menyayangkan minimnya peneliti-peneliti yang serius dan bersifat kontinu untuk menangani masalah eutrofikasi di perairan Indonesia. Ia juga menyarankan, perlu perhatian lebih mengenai masalah ini dan kebijakan yang komprehensif dalam penanganannya. Apalagi hal ini berkaitan langsung dengan aspek ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan.

Mengingat kembali pentingnya perairan Teluk Jakarta, kesungguhan untuk melakukan upaya monitoring jangka panjang kualitas perairan Teluk Jakarta sudah tidak dapat dihindari lagi dan harus dilakukan dari sekarang. (*)

Top