Pastikan 60 Juta Ton Limbah Terolah untuk Tekan Pencemaran

Reading time: 3 menit
Tanpa pengolahan yang ketat, limbah yang industri hasilkan akan terus membebani dan mencemari lingkungan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendorong pemerintah memastikan pengolahan limbah industri dan bahan berbahaya beracun (B3) dari hulu ke hilir. Hal ini untuk mencegah pembuangan limbah sembarangan dan praktik buruk lainnya yang hanya akan memperburuk kerusakan lingkungan.

Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, hal paling krusial untuk mengelola limbah industri dan B3 yakni dengan memastikan beberapa hal. Bahan penghasil, pengolah, pengangkut, serta penimbun limbah perlu pengaturan ke dalam neraca.

“Karena kalau kita lihat sesungguhnya ada ketidakseimbangan antara penghasil dan pengolah. Lebih banyak penghasilnya,” kata Dwi kepada Greeners, di Jakarta, Kamis (27/1).

Dwi melihat pengelolaan limbah belum benar, bahkan nyaris sembarangan. Misalnya, ada limbah dumping, dibakar, hingga menjadi bahan baku proses lain tanpa menghilangkan unsur B3 di dalamnya. Misalnya zat berbahaya seperti timbal dan arsenik yang akan menimbulkan dampak buruk bagi manusia.

Menurut Dwi, neraca tersebut juga dapat mengantisipasi dari modus-modus yang terjadi di lapangan selama ini. Misalnya, dumping illegal berupa memberikan limbah ke transorter nakal, yang kemudian berujung kepada pengolah limbah ilegal. “Kalau kondisinya sekarang ini banyak yang sembarangan mengolahnya,” imbuhnya.

Kurangnya kuantitas pengolah limbah yang tepat juga menjadi salah satu pemicu ketidaktepatan pengolahan lebih lanjut. Dwi menyebut, pengolah limbah yang ada tak sampai 20, itupun ada di wilayah Jawa.

Lokasi Pengolahan Limbah Masih Kurang

Sekretaris Direktorat Jendral Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sayid Muhadhar menyatakan, mengacu hasil refleksi akhir tahun, limbah yang Indonesia hasilkan mencapai 60 juta ton. Ia mengungkapkan, salah satu kendalanya yaitu kurangnya kuantitas pengolah limbah yang ada. “Kalaupun ada itu jaraknya sangat jauh. Ini yang kerap dikeluhkan,” ujarnya.

Penting, sambungnya untuk mendekatkan antara penghasil limbah atau sumber limbah dengan pengolahan limbah yang ada.

Adapun pengelolaan limbah B3 pemerintah atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah B3. Mengingat sifatnya yang berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah B3 perlu perhatian serius. Pengelolaan limbah B3 terdiri dari penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan.

Lokasi pengolahan limbah perlu merata di seluruh kawasan Indonesia untuk memastikan limbah terkelola dengan baik. Foto: Shutterstock

Perusahaan Penghasil Limbah Perlu Pendataan Valid

Toxic Program Officer Nexus3, Sonia Buftheim menyatakan, masalah pendataan masih menjadi kendala untuk menentukan jumlah pendataan limbah yang perusahaan hasilkan. Padahal, limbah B3 tak hanya perusahaan besar saja yang menghasilkan, tapi perusahaan kecil yang luput dari pendataan.

“Jumlah limbah yang dihasilkan seperti halnya fenomena gunung es. Angka terkini bisa jadi tiga atau empat kali lipatnya dari 60 juta ton,” kata Sonia.

Ketimpangan pendataan juga masih menjadi kendala bagi pemerintah pusat dan daerah guna memastikan jumlah limbah yang perusahaan hasilkan. Hal ini juga berpengaruh terhadap pengawasan pemerintah pada perusahaan.

Selain itu, Sonia juga menyebut, mahalnya pengolahan limbah masih menjadi pemicu utama hingga akhirnya banyak perusahaan membuang limbah sembarangan. Ketidakmampuan itu seiring dengan terbatasnya industri pengolah limbah yang ada. “Sehingga permintaannya banyak, tapi karena pengolah limbahnya hanya sedikit dan mahal maka mereka memilih membuang sembarangan,” paparnya.

Limbah B3 membutuhkan penanganan serius mengingat dampak negatifnya bagi manusia dan lingkungan. Misalnya, limbah baterai yang mengandung merkuri, nikel, kadmium, lithium sebagai logam berat. Apabila tak tertangani dengan benar, bahan kimia tersebut terlepas ke lingkungan dan mengakibatkan dampak negatif, seperti penyakit kanker.

“Kalau dampaknya jangka panjang, akumulatif tidak bisa terlihat 5-10 tahun, tapi bisa 20 tahun. Kita mungkin sekarang terpapar tapi merasa tidak apa-apa. Selama kita bisa mencegah dari sekarang kenapa tidak,” ucapnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Top