Peneliti UGM Temukan Tujuh Spesies Baru Lobster Air Tawar di Papua

Reading time: 3 menit
Lobster air tawar. Foto: Christian Lukhaup/UGM
Lobster air tawar. Foto: Christian Lukhaup/UGM

Jakarta (Greeners) – Peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali mencatatkan kontribusi penting dalam eksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia. Peneliti berhasil mengidentifikasi tujuh spesies baru lobster air tawar genus CheraxΒ dari wilayah Papua Barat.

Penelitian ini telah terpublikasi secara terbuka pada 6 Juni 2025 dan melibatkan kolaborasi antara UGM, peneliti independen dari Jerman, serta lembaga riset di Berlin. Penelitian tersebut terbit dalam artikel berjudul β€œSeven New Species of Crayfish of the Genus Cherax (Crustacea, Decapoda, Parastacidae) from Western New Guinea, Indonesia” yang di jurnal Quartil 2 (Q2)Β Arthropoda.Β 

Dosen Fakultas Biologi UGM sekaligus penulis kedua dalam publikasi ini, Rury Eprilurahman mengatakan bahwa Papua adalah hotspot keanekaragaman hayati yang masih menyimpan banyak misteri.

β€œPenemuan ini hanya sebagian kecil dari potensi luar biasa yang belum tereksplorasi,” ungkap Dr. Rury Eprilurahman, S.Si., M.Sc., dosen Fakultas Biologi UGM sekaligus penulis kedua dalam publikasi ini, Kamis (19/6).

BACA JUGA: Mengincar Kelebihan Lobster Air Tawar

Rury menyebutkan ketujuh spesies tersebut, yakniΒ Cherax veritas,Β Cherax arguni,Β Cherax kaimana,Β Cherax nigli,Β Cherax bomberai,Β Cherax farhadii, danΒ Cherax doberai, ditemukan di sejumlah lokasi terpencil di Misool, Kaimana, Fakfak, dan Teluk Bintuni. Semua wilayah ini terkenal sebagai daerah dengan ekosistem air tawar yang masih relatif alami dan belum banyak terjamah aktivitas eksploitasi.

Proses identifikasinya berlangsung secara integratif, menggabungkan pendekatan morfologi dan filogeni molekuler berbasis gen mitokondria 16S dan COI. Pendekatan ini memastikan hasil yang kuat secara ilmiah dan akurat dari sisi taksonomi.

β€œKami tidak hanya melihat bentuk tubuh dan warna, tetapi juga membandingkan DNA-nya untuk memastikan bahwa ini benar-benar spesies yang berbeda,” tambah Rury.

Lobster air tawar. Foto: Christian Lukhaup/UGM

Lobster air tawar. Foto: Christian Lukhaup/UGM

Membuka Peluang Riset

Menariknya, sebagian besar spesimen yang diteliti awalnya berasal dari perdagangan akuarium hias internasional. Spesies-spesies ini muncul dengan nama dagang sepertiΒ Cherax sp. β€œRed Cheek”,Β Cherax sp. β€œAmethyst”, danΒ Cherax sp. β€œPeacock” sebelum teridentifikasi secara ilmiah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa perdagangan spesies eksotik juga bisa membuka peluang riset keanekaragaman jika terkelola secara kolaboratif dan etis. Rury menegaskan pentingnya kerja sama antara peneliti dan penghobi hewan air dalam mengungkap keanekaragaman spesies. Beberapa kolektor lokal bahkan terlibat dalam pencarian spesimen di lapangan.

β€œKomunitas pencinta lobster hias justru sering menjadi sumber awal informasi kami, yang kemudian kami tindak lanjuti dengan riset sistematis,” ujarnya.

Dari hasil analisis DNA dan morfologi, ketujuh spesies tersebut tergolong dalam kelompokΒ CheraxΒ bagian utara (northern lineage). Sebelumnya telah mencakup 28 spesies dan kini bertambah menjadi 35. Klasifikasi ini penting karena menunjukkan bahwa wilayah Papua Barat merupakan pusat evolusi bagi kelompok ini. Beda halnya dari spesies yang ada di Australia atau Papua Nugini.

BACA JUGA: Pastikan Peraturan Pengelolaan Lobster Mampu Menekan Ekspor Benih Ilegal

Masing-masing spesies memiliki ciri khas, baik dari warna tubuh, bentuk capit (chelae), maupun struktur rostrumnya. Ciri morfologis ini menjadi petunjuk penting dalam membedakan spesies baru dari kerabat dekatnya.

β€œMisalnya, Cherax arguniΒ memiliki tubuh dominan biru gelap dengan belang krem, serta capit dengan patch putih transparan yang khas,” kata Rury sambil menunjukkan foto spesimen.

Hasil filogeni molekuler menunjukkan bahwaΒ Cherax arguniΒ merupakan kerabat dekatΒ Cherax bomberai, dengan jarak genetik yang cukup signifikan untuk diklasifikasikan sebagai spesies tersendiri. Analisis ini dilakukan dengan metode Bayesian dan Maximum Likelihood menggunakan data DNA mitokondria. Penanda genetik ini menjadi landasan utama dalam menentukan batas antarspesies secara objektif.

Temuan ini memperkuat pentingnya pendekatan genetik dalam taksonomi modern, terutama di wilayah tropis yang biodiversitasnya sangat tinggi. β€œPerbedaan pada sekuens DNA mitokondria bisa mencapai 11%, yang menunjukkan adanya isolasi evolusioner yang cukup lama,” ujar Rury.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top