Walhi : Jangan Gunakan Solusi Palsu untuk Hentikan Krisis Iklim

Reading time: 2 menit
Indonesia perlu solusi yang terbaik dalam menghadapi krisis iklim. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut, penghentian krisis iklim yang Indonesia lakukan sekadar solusi palsu. Angka ketergantungan sektor pertambangan dan ketenagalistrikan terhadap energi fosil menjadi penyebab utama gagalnya upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Penurunan emisi belum mencapai target nationally determined contribution (NDC).

Adapun target pengurangan emisi GRK di Indonesia yaitu sebesar 29 % tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41 % bersyarat (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030.

Menurut data Walhi, akumulasi perhitungan lahan pertambangan yang ada di Indonesia, perkiraanya akan melepas emisi lebih dari 776 juta ton (Karbon dioksida) CO2-e. Sementara, khusus luas pertambangan batu bara mencapai 4,87 juta hektare (ha). Dari luasan itu menghasilkan emisi sebesar 349 juta ton CO2 (berdasarkan perhitungan Walhi pada November 2021).

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi menyatakan, pemerintah Indonesia membutuhkan pembaruan energi pengganti fosil. Selama ini, sambungnya solusi yang pemerintah tawarkan tak beranjak dari penurunan emisi melalui carbon offset atau perdagangan karbon.

“Justru mereka membuka lebar keterlibatan perusahaan dan penguasaan korporasi,” katanya dalam diskusi virtual Tinjau Lingkungan Hidup Walhi 2022, di Jakarta, Senin (31/1).

Krisis Iklim Memicu Akumulasi Bencana Ekologi

Lebih jauh Zenzi mengungkapkan, ketiadaan komitmen yang serius terhadap krisis iklim menjadi pemicu akumulasi ancaman ekologi yang saat ini terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. “Ketimpangan akses kebutuhan antar wilayah dan perubahan iklim menjadi tantangan sehingga diperlukan tata kelola perbaikan yang optimal,” ucapnya.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2021 telah terjadi 2.943 bencana. Bencana hidrometeorologi yang dapat pengaruh kondisi iklim mendominasi kejadian bencana.

Misalnya, banjir sebanyak 1.288 kejadian, longsor sebanyak 623 dan puting beliung sebanyak 677 kejadian. Walhi memprediksi pada tahun 2022 bencana hidrometeorologi akan meningkat sebesar 7 %. Khusus untuk banjir meningkat 17 % dan longsor 7 %.

Tata Kelola Dampak Proyek Strategi Nasional

Menurut Walhi, perlu ada juga perbaikan tata kelola sehingga tak menambah bencana alam, tapi juga agenda proyek strategis nasional yang saat ini berimbas pada kerusakan lingkungan. Misalnya, perampasan wilayah kelola rakyat, deforestasi penghancuran lingkungan dan penggusuran. Sebanyak 47 proyek bendungan, 56 proyek pembangunan jalan tol. Kemudian, 15 proyek pelabuhan, 8 proyek pembangunan bandara.

Selanjutnya, 16 proyek kereta api, 15 sektor energi dan program food estate masuk dalam 5 provinsi Pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Walhi mensinyalir pembangunan ini akan menambah kerentanan wilayah perkotaan, hutan, serta pesisir dan pulau kecil.

Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Walhi Dewi Puspa mengharapkan, kebijakan iklim yang pemerintah lakukan dengan mempertimbangkan banyak hal. Termasuk mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim.

“Sehingga kebijakan yang diambil menjawab semua krisis iklim yang ada di Indonesia dan bersifat komprehensif,” kata Dewi.

Tanggung Jawab Penurunan Emisi tak Hanya Urusan Pemerintah

Sementara itu Kasubdit Identifikasi dan Analisis Kerentanan Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Arif Wibowo menyatakan, tak hanya pemerintah yang memiliki kewajiban dalam upaya pencapaian penurunan emisi GRK. Tapi semua lapisan masyarakat.

Berdasarkan Perpres No 98 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan semua mitigasi pengurangan karbon yang stakeholder lakukan tercatat dalam Sistem Registri Nasional (SRN). Tujuannya, agar bisa masuk dalam mitigasi krisis iklim dalam dokumen kontribusi nasional yang sudah ditetapkan atau NDC.

“Menjadi tugas semua pihak dalam upaya pencapaian target nasional dalam penurunan emisi GRK, khususnya melalui SRN,” ungkapnya kepada Greeners, Selasa (1/2).

Arief juga menyebut bahwa data jumlah emisi yang diturunkan juga membutuhkan proses transparansi agar data yang dihasilkan terstandar dan terverifikasi.

Penulis : Ramadani Wahyu

Top