Perkumpulan HuMa: 326 Konflik SDA dan Agraria Terjadi Sepanjang 2018

Reading time: 2 menit
perkumpulan huma
Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Sepanjang tahun 2018, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) Indonesia mendokumentasikan 326 konflik sumberdaya alam dan agraria. Konflik berlangsung di 158 kabupaten/kota di 32 provinsi dengan luas areal 2.101.858,221 hektar. Berbagai konflik tersebut melibatkan 286.631 orang korban, 176.337 orang diantaranya adalah masyarakat adat dan 110.294 orang lainnya merupakan masyarakat lokal.

Jika dibagi berdasarkan sektor, konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia. Dahniar Adriani selaku Direktur Perkumpulan Huma Indonesia mengatakan bahwa konflik di dua sektor ini mengalahkan konflik pertanahan, pertambangan, dan konflik lainnya.

Konflik perkebunan dengan jumlah 156 konflik melibatkan lahan seluas 619.959,04 hektar dan 46.934 orang korban. Korban ini terdiri dari 25.149 orang masyarakat adat dan 21.785 orang masyarakat lokal. Sementara konflik kehutanan dengan jumlah 86 konflik melibatkan lahan seluas 1.159.710,832 hektar dan 121.570 orang korban. Korban terdiri dari 95.001 orang masyarakat adat dan 26.569 orang masyarakat lokal.

“Dari tahun ke tahun konflik di hutan adat ini semakin meningkat. Dengan data yang sudah dipaparkan kenyataannya konflik sektor kehutanan merupakan sektor dengan areal terluas, dan melibatkan masyarakat adat sebagai korban terbanyak. Dari sisi kebijakan, pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk berbagai skema Perhutanan Sosial, termasuk Hutan Adat, yang berguna salah satunya adalah untuk konflik hutan adat ini,” kata Dahniar dalam peluncuran “Outlook: Meretas Mimpi Hutan Adat” di Cikini, Jakarta (16/01/2019).

BACA JUGA: Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat 

Dahniar mengatakan, Perkumpulan HuMa Indonesia merekomendasikan rekonstruksi kerangka hukum dalam hal penetapan hutan adat. Rekonstruksi ini bisa dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu dengan harmonisasi dan integrasi. Pendekatan harmonisasi dianggap perlu untuk memberi konteks pada UU 41/1999 pasca Putusan 35/PUU-X/2012.

Harmonisasi dilakukan dengan cara: (1) memastikan kewenangan daerah dalam menetapkan masyarakat hukum adat; (2) merumuskan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam bentuk peraturan bersama Menteri-Menteri untuk menjembatani kementerian dan lembaga yang masing-masing memiliki peraturan terkait masyarakat hukum adat; (3) menyelesaikan tata batas kawasan hutan; (4) memasukkan hutan adat dalam peta kawasan hutan; (5) pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak menguasai negara; (6) pendaftaran hak atas tanah di hutan adat; serta (7) pencadangan hutan adat.

Sedangkan pendekatan integrasi merujuk Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa UU khusus masyarakat hukum adat merupakan mandat konstitusi. Selain itu, sektoralisme dianggap tidak akan teratasi jika peraturan mengenai masyarakat hukum adat masih tersebar di berbagai peraturan sektoral.

Menurut Dahniar, peraturan sektoral yang tumpang tindih harus dinyatakan tidak berlaku dalam UU baru. Untuk itu diperlukan UU khusus mengenai masyarakat hukum adat, tidak hanya untuk mengatasi sektoralisme, UU baru ini harus menata ulang hubungan masyarakat hukum adat dengan negara. Selain itu, UU baru ini dapat mengatasi masalah “pengakuan bersyarat” yang selama ini diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan.

BACA JUGA: Menteri LHK Tawarkan Verifikasi Seluruh Usulan Hutan Adat 

Alasan lain juga disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, Dosen Fakultas Kehutanan IPB terhadap peningkatan konflik di hutan adat. Ia menyatakan jika konflik terus terjadi di wilayah hutan adat karena belum adanya legalitas hukum positif terkait perizinan.

“Kalau swasta ingin membangun di suatu wilayah mereka punya SK, ada kekuatan hukumnya. Kalau masyarakat adat yang berada di hutan adat, ini SK-nya apa? Pegangan legalitasnya apa? Kan itu belum ada. Bagaimana masyarakat adat ini mempertahankan hutan adatnya? Belum lagi kalau ada aparat hukum seperti TNI, Polisi, atau pihak keamanan dari perusahaan tersebut. Itulah yang menjadi penyebab konflik di hutan adat terus-menerus terjadi, karena belum ada hukum yang melegalkan mereka,” kata Hariadi.

Hariadi menilai bahwa kondisi tersebut menandakan bahwa tata kelola pemerintah semakin buruk. Hal ini juga diperparah pihak swasta yang memanfaatkan situasi ini untuk melakukan ekspansi secara terus-menerus.

Penulis: Dewi Purningsih

Top