Penangkapan Ketua Adat dan Konflik Agraria di Laman Kinipan

Reading time: 2 menit
Kriminalisasi warga
Kriminalisasi terhadap warga yang berujung penahanan. Ilustrasi: shutterstock

Jakarta (Greeners) – Penangkapan tokoh adat karena mempertahankan dan melindungi wilayah adat dari penggusuran kembali terjadi di masa pandemi Covid-19. Effendi, Buhing tokoh Masyarakat Adat Laman Kinipan, Kalimantan Tengah ditangkap pada 26 Agustus 2020 tanpa surat pemanggilan oleh kepolisian daerah setempat. Ia merupakan orang kelima yang ditawan aparat setelah sebelumnya empat orang warga dituduh mencuri dan merusak alat berat perusahaan.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan konflik izin lahan konsesi antara perusahaan dengan komunitas adat telah berlangsung sejak 2004. Salah satunya yang belum lama terjadi pada 2018, permukiman dan tanah pertanian wilayah adat Laman Kinipan digusur oleh PT Sawit Mandiri Lestari menggunakan alat berat untuk perkebunan sawit.

Baca juga: China Uraikan Upaya Penanganan untuk Menekan Kasus Covid-19

Korporasi yang beroperasi sejak 2012 itu menyebut perambahan hutan dilakukan secara sah karena telah mengantongi izin pelepasan lahan seluas 19.091 hektare dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sementara berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pemberian Hak Guna Usaha seluas 9.435 hektare telah diberikan pada PT SML.

Rukka menilai penerbitan izin tersebut cacat hukum karena dibuat tanpa persetujuan masyarakat adat Laman Kinipan sebagai pemilik wilayah adat. Ia mengatakan Keputusan Menteri LHK dan ATR/BPN juga telah mengakibatkan hutan adat seluas 3.688 hektare tergusur dan hilang. Jumlah tersebut, kata dia, masih akan bertambah mengingat luasnya lahan HGU.

Sawit

Foto: shutterstock

“Masyarakat adat Kinipan sudah berkali-kali mengunjungi KLHK, ATR/BPN, Komnas HAM, Istana (Negara), dan KSP, tapi tidak ada jalan keluar bagi masyarakat. Dari Mei 2020 hingga saat ini, (masyarakat adat) melakukan penolakan karena perampasan wilayah adat dan perusakan lingkungan oleh pihak swasta,” ujar Rukka pada konferensi pers daring “Penangkapan Pejuang Wilayah Adat Kinipan”, Kamis, (27/08/2020).

Konflik Agraria Diikuti Kriminalisasi

Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sejak Maret hingga awal Juli 2020 terdapat 28 kasus konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Sengketa tersebut juga diikuti oleh kriminalisasi seperti yang berlangsung di wilayah adat Kinipan. Padahal kawasan dan tutupan hutan di sana sangat padat oleh kayu-kayu besar maupun keanekaragaman hayati.

“Akibat pembukaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan, dua tahun ini wilayah Kinipan banjir. Padahal daerah hulu dan tidak pernah memiliki riwayat bencana banjir. Hal ini mengkhawatirkan karena jika kawasan hulu sudah banjir bagaimana daerah hilirnya,” ucap Dimas.

Baca juga: 6 Provinsi Tetapkan Status Siaga Darurat Kebakaran

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), 61 persen daratan di Indonesia telah menjadi lahan konsesi yang tumpang tindih oleh wilayah adat. Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Nur Hidayati mengatakan perizinan tersebut diberikan oleh pemerintah di atas tanah-tanah adat dan tidak diakui keberadaannya.

Ia meminta pemerintah untuk menghentikan praktik tersebut, sebab, seluruh kekayaan alam merupakan milik rakyat. Komunitas adat juga telah turun temurun tinggal di wilayah tersebut sebelum negara ini didirikan. Menurut Yaya, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat juga harus menjadi prioritas salah satunya melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Baca juga: Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Rugikan Masyarakat Adat

“Komponen utama negara Indonesia ini adalah masyarakat adat, suatu pengkhianatan jika pemerintah yang diberikan mandat untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat tidak menjalankannya,” ujar Yaya.

Ia mengatakan perusakan wilayah adat oleh perusahaan skala besar seperti monokultur telah menghilangkan kearifan budaya-budaya masyarakat adat. Padahal kekayaan budaya tersebut merupakan sistem pendukung alam yang sangat dibutuhkan masyarakat adat dalam mencari sumber pencarian.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top