Produsen yang Lalai Terhadap Sampah Plastiknya Belum Dipidana

Reading time: 3 menit
Kemasan sampah plastik masih menjadi persoalan serius. Produsen wajib mengubah kemasan produknya lebih ramah lingkungan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Sampah plastik kemasan yang produsen hasilkan masih menjadi ancaman. Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum menetapkan sanksi pidana bagi produsen yang tak bertanggung jawab atas sampah plastik kemasannya.

Implementasi dari Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen dilakukan secara bertahap. Sanksi bagi produsen baru sebatas disintensif dan administratif.

Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan KLHK, Ujang Solihin Sidik mengatakan, inti dari Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 lebih menekankan pada monitoring tanggung jawab perusahaan terhadap sampah kemasan yang mereka hasilkan.

“Kami belum melakukan punishment. Karena kami ingin mendorong mereka membangunkan komitmen, mengaktifkan komitmen mereka dulu untuk bertanggungjawab atas sampahnya,” katanya dalam diskusi virtual Diseminasi Peraturan Menteri LHK Nomor P.75/2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, di Jakarta, Rabu (10/3).

Lebih jauh Ujang menyebut, KLHK memang lebih menggunakan pendekatan disintensif dan sanksi administratif. Pendekatan disintensif dengan mempublikasikan kinerja buruk perusahaan dalam mencapai target yang mereka hasilkan. Kesesuaian antara penetapan target dan realisasi akan menjadi bahan evaluasi dari kinerja masing-masing perusahaan.

Namun, jika masih mengulangi kesalahan, sambung Ujang KLHK akan mengenakan sanksi administratif. “Mulai dari pemberian surat peringatan, teguran hingga pembicaraan terkait pencabutan izin usaha. Ini upaya terakhir,” ucapnya.

Produsen Harus Pasang Target Pengurangan Sampah

Mengacu pada Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019, perusahaan harus menargetkan pengurangan sampah sebanyak 30 % (berlaku dari tahun 2020 hingga akhir 2029). Otomatis, sambung Ujang perusahaan harus mengatur target pengurangan sampahnya sepanjang tahun.

“Dari hasil itu kami akan mengeluarkan semacam kinerja yang mereka lakukan. Kalau tidak tercapai kenapa, lalu bahan evaluasinya seperti apa,” imbuhnya.

Dia juga menegaskan, ketentuan tersebut berlaku untuk semua perusahaan kecil, menengah hingga besar. Namun, implementasinya akan berlaku secara bertahap, prioritasnya pada perusahaan-perusahaan besar yang berkontribusi besar terhadap kemasan plastik yang mereka hasilkan. Misalnya, perusahaan yang memiliki jaringan nasional hingga perusahaan multinasional.

Bergulirnya Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 merupakan upaya percepatan dalam menangani pengurangan sampah plastik kemasan yang produsen hasilkan. Produsen berkewajiban melaksanakan pengurangan sampah dengan 3R. R1 yaitu pembatasan timbulan sampah, R2 pendauran ulang sampah dan R3 pemanfaatan kembali sampah.

Plastik Kemasan Mendominasi Sampah di Lingkungan

Riset terbaru KLHK tahun 2021, menyebut untuk saat ini jumlah plastik kemasan paling mendominasi di lingkungan, yaitu sebanyak 57 %. Kemudian, disusul dengan kemasan botol plastik, sebanyak 13 %. Jumlah kemasan plastik yang produsen hasilkan meningkat seiring dengan tren kebutuhan masyarakat.

Seperti halnya tren penggunaan kemasan plastik seiring belanja online yang meningkat selama pandemi. Hasil riset Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI 2020 terhadap sampah plastik di Jabodetabek (April-Mei) 2020 menunjukkan 96 % paket belanja online pembungkusnya adalah plastik.

Hasil riset yang P20 dan LIPI lakukan tahun 2018 menemukan hampir 400.000-600.000 ton per tahun sampah plastik dan mikroplastik di laut. Mikroplastik juga mereka temukan di seluruh perairan dan sedimen, terbanyak di perairan Sulawesi Selatan dan Teluk Jakarta.

“Tren sampah plastik dari sisi komposisi sampah kita terus mengalami kenaikan. Kalau tidak ada kebijakan luar biasa, mungkin di tahun 2050 komposisi sampah plastik kita mencapai 50 %,” kata Ujang.

Sementara kebutuhan bahan baku daur ulang sebanyak 5,63 juta ton per tahun. Sedangkan kapasitas daur ulang sebesar 1,65 juta ton per tahun. Ujang menyatakan, masih banyak beragam jenis plastik yang belum bisa terdaur ulang. Kebanyakan tambahnya, daur ulang sebatas memanfaatkan jenis plastik PET.

“Saat ini daur ulang sebatas 10-11 %. Sedangkan untuk jenis plastik yang lainnya belum didaur ulang dan menjadi polutan,” ungkapnya.

Tetapkan Standar Pengukuran Pengurangan Sampah Produsen

Sementara itu Direktur Pengurangan Sampah KLHK Sinta Saptarina menyatakan, implementasi Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 mencakup tiga jenis bidang yaitu manufaktur, ritel dan jasa makanan dan minuman.

Adapun untuk manufaktur mencakup empat industri yaitu makanan minuman, kebutuhan sehari-hari dan kosmetika. Jasa mencakup rumah makan, kafe, hotel dan restoran. Sementara untuk ritel yaitu pusat perbelanjaan, toko modern dan pasar rakyat.

Menanggapi hal itu, Founder Ecobrick Bogor Aang Hudaya mendorong, pemerintah memastikan adanya standardisasi. Hal ini dapat menjadi alat ukur untuk mengevaluasi capaian produksi dan pengurangan plastik kemasan dari masing-masing perusahaan.

“Misalnya di bulan ini bisa memproduksi plastik berapa, pengurangannya berapa. Demikian target bulan depan juga harus sudah ada,” tegasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top