PPHI: Kasus Hepatitis A di IPB Diduga Bukan yang Pertama

Reading time: 3 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Beberapa waktu lalu, otoritas kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Dinas Kesehatan kabupaten Bogor dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) hepatitis A di wilayahnya. Kejadian ini ditandai dengan adanya 28 mahasiswa yang terjangkit hepatitis A sejak minggu ke-2 November 2015 sampai dengan 10 Desember 2015. Namun, dalam periode tersebut tidak ditemukan adanya kasus kematian akibat penyakit hepatitis A.

Seperti yang diutarakan oleh Dr. Rino Alvani Gani, Sp.PD-KGEH, dokter ahli penyakit dalam, hepatitis adalah peradangan pada hati dengan berbagai macam virus penyebabnya seperti virus hepatitis A, B, C, D dan E.

Menurut Rino, apa yang terjadi di IPB bukanlah kasus hepatitis A yang kali pertama terjadi. Hal ini dikarenakan selama ini di banyak tempat yang pernah mengalami kasus hepatitis A, penyakit ini tidak pernah benar-benar hilang atau muncul tiba-tiba tanpa ada kasus awal sebelumnya. Setiap tahun, di lokasi yang pernah mengalami kasus serupa pasti pernah atau akan terjadi lagi. Mengenai jumlah orang yang terjangkit, lanjutnya, tergantung dari bagaimana lokasi tersebut melakukan antisipasi terhadap virus hepatitis A tersebut.

“Kasusnya itu tidak pernah dari nol tiba-tiba muncul dalam jumlah banyak seperti itu. Saya kira di IPB juga pasti pernah mengalami masalah ini sebelumnya. Hanya saja memang mungkin yang kemarin itu jumlah yang terjangkitnya jauh lebih banyak dari sebelumnya. Seingat saya, sekitar empat atau lima tahun yang lalu, di IPB juga pernah ada sampai seratusan mahasiswa yang dilaporkan terkena virus hepatitis A,” tegasnya kepada Greeners, Jakarta, Rabu (16/12).

Virus hepatitis A sendiri, katanya, mampu menular melalui makanan dan air yang tercemar. Sedangkan virus hepatitis B menular melalui kontak dengan darah yang terinfeksi, hubungan seksual dan tukar menukar jarum suntik atau peralatan medis lain yang tidak steril. Virus ini dapat juga ditularkan dari ibu yang terinfeksi hepatitis B kepada bayinya saat hamil ataupun proses persalinan.

Lalu, virus hepatitis C (disebut juga HCV atau Hep C) adalah salah satu virus hepatitis paling berbahaya. Di dunia, ada sekitar 130-180 juta orang yang terinfeksi hepatitis C. Hepatitis C kebanyakan ditularkan melalui kontak dengan darah, misalnya melalui kontak dengan darah atau produk darah yang terinfeksi hepatitis C, memakai peralatan suntik narkoba secara bergantian, tato dan tindik yang tidak steril, penggunaan alat-alat medis yang tidak steril atau bekas, penggunaan pisau cukur yang dapat memiliki sejumlah kecil darah, berhubungan seks tanpa pengaman dan penularan dari ibu ke bayinya, selama kehamilan atau saat melahirkan.

“Kalau hepatitis D dan E belum terlalu umum. Namun belum ada vaksin untuk mencegah keduanya,” terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) ini.

Hepatitis sudah menjadi momok di tengah masyarakat sejak lama. Menurut Rino, untuk virus hepatitis B saja, tercatat lebih dari 1 juta orang meninggal di seluruh dunia per tahun. Sementara itu, ada sekitar 200 sampai 300 ribu orang per tahun yang meninggal karena hepatitis C. Meski Indonesia belum memiliki data resminya, tetapi kematian yang dihubungkan dengan kedua infeksi virus tersebut cukup tinggi.

“Dalam kasus hepatitis A sendiri sangat jarang ditemukan yang berujung kematian, biasanya 0,5 persen dari kasus. Kalau (penanganan) hepatitis B sudah ada vaksin yang mampu mencegahnya dan obat-obatan yang bisa di dapat di rumah sakit,” tuturnya.

Untuk Hepatitis C, lanjutnya, saat ini sudah ada jenis obat bernama Sofosbuvir yang tingkat keberhasilannya dikatakan sampai 95 persen dengan sedikit efek samping. Namun, saat ini ketersediaannya masih harus melalui spesial akses di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

“Kita sudah mendapatkan spesial akses untuk memasukkan obat yang relatif memiliki efek samping cukup aman dan bisa diberikan dalam jangka waktu yang cukup pendek. Sayangnya masih belum bisa masuk dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) karena tahapan registrasinya masih belum selesai di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top