Relaksasi Pajak Mobil Hambat Pembangunan Berkelanjutan

Reading time: 2 menit
pajak mobil baru nol persen
Relaksasi Pajak Mobil Menghambat Pembangunan Berkelanjutan. Foto: Shutterstock.

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru. Berbagai pihak menyayangkan adanya kebijakan ini. Pasalnya, langkah tersebut bertolak belakang dengan komitmen pemerintah terhadap pembangunan berkelanjutan.

Jakarta (Greeners) – Bike to Work (B2W) Indonesia, Greenpeace Indonesia, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, dan Rujak Center for Urban Studies adalah sebagian pihak yang menolak adanya kebijakan tersebut.

Ketua B2W Indonesia, Poetoet Soedarjanto mengatakan kebijakan tersebut malah semakin menegaskan ketidakpedulian pemerintah dalam mengatasi penyebab kerusakan lingkungan.

Poetoet mengatakan kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber gas beracun yang menimbulkan krisis iklim. Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas itu hingga 29 persen pada 2030. Komitmen tersebut tercantum dalam Kesepakatan Paris yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2016.

“Janji ini hanya bisa dipenuhi jika ada tindakan-tindakan drastis. Meningkatkan jumlah penjualan mobil jelas tak termasuk di dalamnya,” ujar Poetoet kepada Greeners.co, Selasa (16/2/2021).

B2W: Relaksasi Pajak Mobil Ancam Kehidupan Kota

Poetoet mengatakan kebijakan ini bakal membuat kehidupan kota semakin tak manusiawi. Menurutnya, mobilitas masyarakat akan berpusat pada kendaraan bermotor. Padahal, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, transportasi darat menyumbang 75 persen emisi gas beracun.

Dia menyebut kendaraan bermotor di perkotaan juga menjadi penyebab kemacetan. Sampai saat ini pengendaliannya masih bermasalah mengingat solusi yang hadir dengan membangun jalan merupakan kekeliruan. Padahal, sambungnya, kemacetan juga menghalangi peluang bagi masyarakat untuk bisa lebih produktif.

“Di Jabodetabek saja nilai yang terbuang, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hingga Rp100 triliun per tahun,” jelasnya.

Poetoet menambahkan banyaknya jumlah kendaraan bermotor berdampak pada tingginya angka korban kecelakaan di jalan. Menurut data Kementerian Perhubungan, setiap jam rata-rata tiga orang tewas karena kecelakaan di jalan.

“Angka korban kecelakaan di jalan mestinya lebih nyata, karena bisa terjadi di hadapan mata, menimpa siapa saja. Angkanya terus bertambah atau sekurang-kurangnya tak pernah benar-benar turun setiap tahun,” pungkasnya.

Polusi Udara

Sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang pencemaran udara. Foto: Shutterstock.

Baca juga: Pakar Usul Pembentukan Pusat Penanganan Sampah yang Timbul Akibat Bencana

Greenpeace Sebut PPnBM Bukan Prioritas

Sementara itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mempertanyakan kebijakan PPnBM tersebut dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Menurutnya, masih ada sektor lain yang perlu insentif pemerintah daripada sektor industri otomotif.

Pihaknya mempertanyakan kebijakan tersebut mengingat dampak negatif dari adanya PPnBM mengancam kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Global Alliance on Health and Pollution (2019) polusi udara merupakan penyebab 123 ribu kematian dalam setahun. Dampak kesehatan ini merupakan salah satu dari sekian dampak polusi udara yang dapat berujung pada kerugian di sektor ekonomi.

“Pelonggaran pajak penjualan mobil, berapa pun nilai uangnya, tak bakal sebanding dengan kerugian yang timbul akibat pembiaran negara terhadap kehidupan masyarakat yang tergantung kendaraan bermotor,” ucapnya.

Bondan berargumen, pemerintah seharusnya menyadari kebijakan PPnBM bertolak belakang dengan langkah pengurangan polusi udara. Lebih jauh dia meminta pemerintah membuka data dan kajian yang menjadi landasan PPnBM, data tersebut harus detail menghitung dampak dari kebijakan tersebut. Menurutnya, ketika kebijakan dari satu sektor muncul akan berdampak pula pada sektor lainnya.

“Kebijakan ini harus dilihat datanya seperti apa, menguntungkan siapa, dan merugikan siapa. Sebab sektor lain bisa jadi lebih urgen untuk pemulihan ekonomi,” tutupnya.

Penulis Muhamad Ma’rup

Top