RUU KSDAHE Berpotensi Kriminalisasi Masyarakat Adat

Reading time: 2 menit
Kehidupan masyarakat adat sangat dekat dengan alam. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Rancangan Undang-udang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) pengganti UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya berpotensi memperluas kriminalisasi masyarakat adat.

Padahal adanya RUU ini diharapkan sebagai penguatan peran dan partisipasi masyarakat adat serta menyelesaikan berbagai konflik di kawasan konservasi.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yance Arizona mengungkap, sudah banyak konflik-konflik antara masyarakat adat dalam kawasan konservasi. Seperti banyak masyarakat yang tertangkap maupun mengalami represi di wilayah taman nasional.

Masyarakat Terdampak Langsung

Adapun penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah setelah mempertimbangkan rekomendasi dari lembaga pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yakni Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Proses ini sama sekali tak melibatkan persetujuan dari masyarakat.

“Ini sebenarnya akar konflik yang terjadi dan belum berubah di sini. Kalau UU ini mau menyelesaikan konflik maka perlu mempertimbangkan persetujuan dari masyarakat yang terkena dampak langsung dari proses penetapan kawasan konservasi,” katanya dalam Konferensi Pers Pandangan Masyarakat Sipil untuk RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, Senin (13/2).

Selama ini masyarakat adat sudah lama tinggal di wilayah tersebut. Tapi karena sudah ditetapkan sebagai wilayah konservasi maka beberapa aktivitas tak boleh mereka lakukan.

Ia menyebut hadirnya RUU ini turut memperluas kriminalisasi masyarakat adat. Pasal 9 ayat (4) misalnya menyebut bahwa perorangan atau korporasi yang memiliki perizinan usaha pada ekosistem penting di luar konservasi, wajib menjaga kelangsungan wilayah dengan melakukan tindakan konservasi, termasuk menyediakan pendanaan tindakan konservasi.

Bahkan dalam pasal 51, jika orang atau korporasi tidak melakukan konservasi seperti tak melakukan pendanaan maka bisa dipidana dan denda. “Ini tidak adil. Ketika penetapan, masyarakat tak
berkontribusi dalam persetujuan. Tapi kalau masyarakat tak melakukan konservasi justru pidana,” kata dia.

Yance juga menekankan pendekatan alternatif yang lebih apresiatif insentif daripada pidana. “Harusnya masyarakat memperoleh insentif agar mau terlibat dalam kegiatan konservasi. Itu lebih baik daripada sanksi pidana,” jelasnya.

Pandangan masyarakat sipil terhadap RUU KSDAHE. Foto: Walhi

Poin AKKM Krusial

Koordinator Working Group ICCAs Indonesia (WGII) Kasmita Widodo menyatakan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) terbaru, pemerintah justru menghapus poin kearifan lokal dalam konservasi dan Areal Kelola Konservasi Masyarakat (AKKM).

Padahal, AKKM berpotensi agar masyarakat bisa mendaftarkan atau meregistrasi kawasan konservasi masyarakat kepada pemerintah. Sebelumnya poin ini diusulkan oleh DPR.

“Ketika sudah teregistrasi maka perlu dilindungi oleh pemerintah terutama dari kegiatan proyek-proyek pemerintah dan swasta yang mungkin akan mengganggu penyelenggaraan konservasi di wilayah itu,” ujar dia.

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah mencatat ada sekitar 1,7 juta hektare wilayah adat yang overlap dengan kawasan konservasi, dan beberapa di antaranya telah menjadi hutan adat. “RUU ini baik yang usulan DPR maupun DIM oleh pemerintah keduanya cukup berpotensi mengriminalisasi masyarakat adat,” imbuh Kasmita.

Masyarakat Adat Telah Lama Melakukan Konservasi

Masyarakat Adat Dalen Tamblingan, Bali Putu Ardana menyatakan, dalam melakukan konservasi, masyarakat adat di Indonesia sangat canggih dan beragam. Seperti di Bali, ribuan desa adat mengonservasi dengan berbagai cara sesuai dengan bentang alamnya.

“Konservasi mereka basic-nya menjaga harmoni dengan alam. Itu agar mereka bisa bertahan hidup di alam,” kata dia.

Menurutnya, konservasi masyarakat adat telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun lalu sehingga pemerintah harusnya tak perlu khawatir lagi. “Justru saya mempertanyakan harusnya manajemen konservasi masyarakat adat ini mereka pelajari dan sebagai rujukan,” ujar dia.

Penulis: Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top