AMAN: Pengaturan Evaluasi RUU Masyarakat Adat Membahayakan

Reading time: 3 menit
Masyarakat Adat
Masyarakat adat butuh pengakuan terhadap wilayahnya. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat perlu segera disahkan untuk menjamin keberadaan dan hak-hak masyarakat adat serta menjembatani hubungan negara dengan warga. Namun, draf yang ada saat ini dinilai masih perlu dicermati karena belum menjawab berbagai persoalan bahkan berbahaya bagi keberadaan komunitas adat.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat masih jauh dari harapan. Menurutnya jika tetap akan disahkan, regulasi tersebut tidak akan bermanfaat karena tak mampu menjawab sejumlah persoalan bangsa terkait masyarakat adat. “Ada pasal berbahaya, yakni evaluasi masyarakat hukum adat di Bab 3 draf RUU yang pada dasarnya bertentangan dengan semangat UUD,” ucap Rukka pada “Talkshow RUU Masyarakat Adat” yang diselenggarakan secara daring oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Rabu, (08/09/2020).

Baca juga: Yayasan Ekosistem Lestari: Hutan Tak Lagi Jadi Tempat Aman bagi Orangutan

Pokok pengaturan dalam Bab 3 tersebut menyebut bahwa, Evaluasi dilakukan 10 (sepuluh) tahun sekali sejak ditetapkannya Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Evaluasi juga dilakukan berdasarkan persyaratan memiliki komunitas tertentu yang hidup berkelompok dalam suatu ikatan karena kesamaan keturunan dan/atau teritorial, mendiami suatu wilayah adat dengan batas tertentu secara turun-temurun, memiliki pranata atau perangkat hukum dan ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan Masyarakat Hukum Adat; dan/atau mempunyai Lembaga Adat yang diakui oleh Masyarakat Hukum Adat.

Menurutnya masyarakat adat mempunyai hak asal usul yang telah ada sebelum negara ini terbentuk sehingga negara tidak punya otoritas mengevaluasi apalagi menghapus masyarakat adat. “Ada dan tiadanya masyarakat adat itu proses alamiah bukan proses yang  kemudian disetir oleh hukum negara,” ujarnya.

Pasal evaluasi tersebut, kata Rukka, juga bertentangan dengan semangat pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. “Pasal tentang evaluasi masyarakat adat itu sangat tidak tepat, bahkan berbahaya. Kita mau menjadikan Indonesia sebagai rumahnya masyarakat adat, jadi maunya UU Masyarakat Adat yang baik, yang bisa mengatasi masalah-masalah kita bersama secara efektif dan efisien,” kata Rukka.

Masyarakat Adat

Foto: shuterstock

Ia menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat dimaksudkan untuk menjembatani hubungan antara masyarakat adat dan negara. Tujuannya agar tidak ada lagi kasus kriminalisasi seperti yang dialami oleh Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendy Buhing karena mempertahankan hak-hak tradisionalnya. “Apalagi saat pandemi ini membuktikan bahwa masyarakat adat mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan,” ucapnya.

Salah satu letak persoalan masyarakat adat selama ini, kata Rukka, adalah sektoralisme di dalam pemerintahan. Menurutnya kementerian-kementerian tidak saling mendengar, tidak saling berbicara sehingga tak ada sinkronisasi maupun koordinasi. Akibatnya masyarakat adat menjadi korbannya.

“Masyarakat adat seperti bola yang dipimpong ke sana ke mari. Seperti terperangkap dalam rumah besar, tidak ada pintu, tidak ada jendela. Tidak ada pilihan,” ujarnya.

Baca juga: Kota Besar di Dunia Andalkan Sepeda untuk Tangkal Pencemaran Udara

Rukka menyebut bahwa dampak ego sektoral juga terlihat dari kriminalisasi yang dialami anggota komunitas adat Laman Kinipan. Menurutnya, persoalan sektoralisme tersebut harus dibereskan juga dalam UU Masyarakat Adat.

“Pemerintah wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, hak atas status kewarganegaraan, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak atas identitas budaya dan spiritualitasnya, hak atas pembangunan, hak atas lingkungan, hak atas persetujuan dini tanpa paksaan, serta hak-hak perempuan adat,” ucapnya.

Masyarakat Adat

Foto: shuterstock

Ia juga mendesak pemerintah untuk mencegah pengusiran masyarakat adat atas ruang hidupnya, melindungi mereka dari perampasan tanah oleh korporasi dan kebijakan pemerintah, serta memberikan pengakuan atas keberadaan beserta hak-haknya.

“Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan wilayahnya, juga hak-hak lainnya semestinya tak perlu menanti terbitnya peraturan daerah. Pengakuan harus dipermudah untuk mendorong perlindungan terhadap masyarakat adat,” kata dia.

Tumpang Tindih Aturan

Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta seluruh hak konstitusionalnya belum diatur seluruhnya. Dengan adanya RUU Masyarakat Adat yang diusulkan oleh Koalisi Civil Society Organization (CSO) dan Masyarakat Sipil Kawal RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat adat.

Namun, kebijakan yang ada saat ini justru menimbulkan tumpang tindih aturan satu sama lain. Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional menyebut dengan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) seharusnya seluruh tumpang tindih akan terlihat.

Baca juga: Pemegang IPPKH Diwajibkan Merehabilitasi Daerah Aliran Sungai

Menurutnya pemerintah sebaiknya memasukkan peta wilayah adat bersama peta-peta lainnya. Namun, kebijakan tersebut justru saat ini menjadi tertutup dan hanya dapat diakses oleh pejabat-pejabat pemerintah. “Demikian pula wali data untuk wilayah adat, sampai hari ini belum ada kejelasan. Lewat Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini bisa memperjelas bagaimana mekanisme penyediaan peta dan wali datanya,” ucapnya.

Hingga saat ini, wilayah adat yang telah terpetakan seluas 11,1 juta hektare. Data yang dikumpulkan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) tersebut sudah diserahkan kepada wali data di kementerian. Peta-peta dan data tersebut merupakan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat adat maupun lokal.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top